𝐀𝐦𝐛𝐚𝐥𝐚𝐭: 𝐋𝐮𝐤𝐚 𝐋𝐚𝐦𝐚 𝐒𝐢𝐩𝐚𝐝𝐚𝐧-𝐋𝐢𝐠𝐢𝐭𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐤𝐚𝐝 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐠𝐚 𝐊𝐞𝐝𝐚𝐮𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧

Editor: Admin

 


Oleh: Drs. Muhammad Bardansyah, Ch.Cht


Bayangkan luka yang belum sepenuhnya sembuh, lalu kembali disentuh. Begitulah yang dirasakan Indonesia ketika Malaysia lagi-lagi mengklaim wilayah Ambalat—sebuah blok laut yang kaya sumber daya di Laut Sulawesi.


Ingatan kita langsung melayang ke tahun 2002, saat Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Sipadan dan Ligitan, dua pulau kecil yang sebelumnya berada dalam pengawasan Indonesia, jatuh ke tangan Malaysia.


Kala itu, Indonesia kalah karena dinilai kurang aktif dalam mengelola wilayah tersebut, sementara Malaysia dinilai lebih rajin membangun dan mengadministrasikannya.


Inilah yang disebut effective occupation oleh Mahkamah Internasional (ICJ, 2002). Kekalahan itu bukan sekadar soal dua pulau, tapi pukulan terhadap harga diri bangsa. Kini, jangan sampai kisah itu terulang di Ambalat.


𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐲𝐬𝐢𝐚 "𝐍𝐠𝐨𝐭𝐨𝐭" 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐀𝐦𝐛𝐚𝐥𝐚𝐭?


𝟏.𝐁𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐋𝐚𝐮𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐓𝐮𝐧𝐭𝐚𝐬


Malaysia mendasarkan klaimnya pada peta kolonial warisan Inggris, sementara Indonesia mengacu pada hukum laut internasional, khususnya 𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘊𝘰𝘯𝘷𝘦𝘯𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘓𝘢𝘸 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘦𝘢 (UNCLOS) 1982. 


Menurut UNCLOS, Ambalat termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, karena letaknya berada dalam 200 mil laut dari pantai Kalimantan Timur (Beckman, 2013). Di sinilah masalah bermula: dua negara berdiri di atas dua pijakan hukum yang berbeda.


𝟐.𝐃𝐚𝐲𝐚 𝐓𝐚𝐫𝐢𝐤 𝐌𝐢𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐆𝐚𝐬.


Ambalat bukan sembarang wilayah laut. Ia kaya akan kandungan minyak dan gas. 


Indonesia sudah memberikan izin eksplorasi kepada perusahaan besar seperti ENI dan Pertamina. 


Di sisi lain, Malaysia pun menggandeng Shell (Dutton, 2010). Persaingan ekonomi ini bukan sekadar tentang keuntungan, tapi juga soal siapa yang lebih dulu menancapkan "bendera klaim".



𝟑.𝐈𝐬𝐮 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐲𝐬𝐢𝐚.


Isu Ambalat sering menjadi "alat pukul" politik di Malaysia. Beberapa politisi bahkan sempat mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk mempertahankan klaim tersebut, seperti yang terjadi pada 2005 dan 2009 (Storey, 2013). 


Di mata publik, ini soal martabat. Sayangnya, sentimen seperti ini bisa membahayakan stabilitas kawasan.


𝐁𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐏𝐨𝐬𝐢𝐬𝐢 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐝𝐢 𝐌𝐚𝐭𝐚 𝐇𝐮𝐤𝐮𝐦 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥?


Secara hukum, posisi Indonesia jauh lebih kuat. Ambalat tidak termasuk dalam keputusan ICJ 2002 mengenai Sipadan dan Ligitan. 


Malaysia pun belum memiliki dasar legal yang diakui dunia internasional untuk mengklaim wilayah ini (Schofield, 2013).


Sebaliknya, Indonesia telah meratifikasi UNCLOS, dan terus memperkuat argumennya melalui pendekatan hukum internasional yang konsisten.


𝐁𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐋𝐮𝐤𝐚 𝐋𝐚𝐦𝐚: 𝐊𝐞𝐬𝐢𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐈𝐧𝐢.


𝟏.𝐓𝐍𝐈 𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐒𝐢𝐚𝐠𝐚.


Indonesia tidak ingin mengulangi kelengahan di masa lalu. TNI kini secara aktif menjaga wilayah Ambalat:


- TNI AL rutin berpatroli dengan kapal-kapal seperti frigat kelas Martadinata dan kapal cepat rudal.

- TNI AU mengawasi langit Ambalat dengan armada jet tempur seperti F-16, Sukhoi Su-30, dan Su-35.

- Pangkalan militer di Tarakan dan Nunukan diperkuat agar mampu merespons segala bentuk provokasi (Kurniawan, 2020).


𝟐.𝐃𝐢𝐩𝐥𝐨𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐠𝐚𝐬 𝐓𝐚𝐩𝐢 𝐄𝐥𝐞𝐠𝐚𝐧


Indonesia memilih jalur diplomasi tanpa kehilangan ketegasan. Kita menolak membawa Ambalat ke Mahkamah Internasional, dengan pelajaran dari Sipadan-Ligitan sebagai alasannya (Djalal, 2009). 


Pemerintah juga aktif menyuarakan klaim sah kita dalam forum-forum seperti ASEAN dan PBB.


𝟑.𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐖𝐢𝐥𝐚𝐲𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐥𝐮𝐚𝐫


Menjaga wilayah bukan hanya tugas militer. Pemerintah juga memperkuat kehadiran sipil melalui:


- Program pemberdayaan nelayan lokal.

- Eksplorasi energi oleh BUMN.

- Pembangunan infrastruktur seperti dermaga, jalan, dan fasilitas komunikasi di pulau-pulau terdepan (Bateman, 2017).

Langkah ini membentuk kekuasaan de facto yang nyata di lapangan.


𝐏𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩: 𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐁𝐢𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠


Ambalat bukan sekadar wilayah di peta. Ia adalah simbol harga diri dan ujian bagi kedaulatan kita. 


Kejadian di Sipadan dan Ligitan telah menjadi luka kolektif yang harusnya membentuk kewaspadaan nasional. Kini, dengan kesiapan militer, diplomasi yang terarah, dan pembangunan ekonomi yang menyentuh akar rumput, Indonesia menunjukkan bahwa kita siap menjaga setiap jengkal tanah air.


Kita tidak mencari konflik. Tapi bila provokasi terus berlanjut, Indonesia harus siap dengan segala opsi: 


diplomasi yang tegas, negosiasi yang bermartabat, hingga tindakan militer terbatas jika memang diperlukan. Karena satu hal yang tak bisa ditawar: kedaulatan adalah harga mati.


Daftar Referensi 

1. 𝘉𝘢𝘵𝘦𝘮𝘢𝘯, 𝘚. (2017). 𝘔𝘢𝘳𝘪𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘴𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢: 𝘊𝘰𝘰𝘱𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯, 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘳𝘦𝘴𝘵𝘴, 𝘢𝘯𝘥 𝘴𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘪𝘦𝘴. 𝘙𝘰𝘶𝘵𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.

2. 𝘉𝘦𝘤𝘬𝘮𝘢𝘯, 𝘙. (2013). 𝘛𝘩𝘦 𝘜𝘕 𝘊𝘰𝘯𝘷𝘦𝘯𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘓𝘢𝘸 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘦𝘢 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘮𝘢𝘳𝘪𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘥𝘪𝘴𝘱𝘶𝘵𝘦𝘴 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘚𝘦𝘢. 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢𝘯 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘓𝘢𝘸, 107(1), 142–163.

3. 𝘋𝘫𝘢𝘭𝘢𝘭, 𝘏. (2009). 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘓𝘢𝘸 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘦𝘢. 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘦𝘳 𝘧𝘰𝘳 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘪𝘤 𝘢𝘯𝘥 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴.

4. 𝘋𝘶𝘵𝘵𝘰𝘯, 𝘗. (2010). 𝘛𝘩𝘳𝘦𝘦 𝘥𝘪𝘴𝘱𝘶𝘵𝘦𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘳𝘦𝘦 𝘰𝘣𝘫𝘦𝘤𝘵𝘪𝘷𝘦𝘴: 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘚𝘦𝘢. 𝘕𝘢𝘷𝘢𝘭 𝘞𝘢𝘳 𝘊𝘰𝘭𝘭𝘦𝘨𝘦 𝘙𝘦𝘷𝘪𝘦𝘸, 63(4), 42–67.

5. 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘊𝘰𝘶𝘳𝘵 𝘰𝘧 𝘑𝘶𝘴𝘵𝘪𝘤𝘦 (𝘐𝘊𝘑). (2002). 𝘚𝘰𝘷𝘦𝘳𝘦𝘪𝘨𝘯𝘵𝘺 𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘗𝘶𝘭𝘢𝘶 𝘓𝘪𝘨𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘗𝘶𝘭𝘢𝘶 𝘚𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯 (𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘷. 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘺𝘴𝘪𝘢): 𝘑𝘶𝘥𝘨𝘮𝘦𝘯𝘵.

6. 𝘒𝘶𝘳𝘯𝘪𝘢𝘸𝘢𝘯, 𝘠. (2020). 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢’𝘴 𝘮𝘢𝘳𝘪𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘴𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘴𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘺: 𝘊𝘩𝘢𝘭𝘭𝘦𝘯𝘨𝘦𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘰𝘱𝘱𝘰𝘳𝘵𝘶𝘯𝘪𝘵𝘪𝘦𝘴. 𝘊𝘰𝘯𝘵𝘦𝘮𝘱𝘰𝘳𝘢𝘳𝘺 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢, 42(2), 225–248.

7. 𝘚𝘤𝘩𝘰𝘧𝘪𝘦𝘭𝘥, 𝘊. (2013). 𝘋𝘦𝘧𝘪𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘳𝘪𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘣𝘰𝘶𝘯𝘥𝘢𝘳𝘪𝘦𝘴: 𝘛𝘩𝘦 𝘵𝘶𝘳𝘣𝘶𝘭𝘦𝘯𝘵 𝘫𝘰𝘶𝘳𝘯𝘦𝘺 𝘰𝘧 𝘜𝘕𝘊𝘓𝘖𝘚. 𝘐𝘉𝘙𝘜 𝘉𝘰𝘶𝘯𝘥𝘢𝘳𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘉𝘶𝘭𝘭𝘦𝘵𝘪𝘯.

8. 𝘚𝘵𝘰𝘳𝘦𝘺, 𝘐. (2013). 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢’𝘴 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘱𝘰𝘴𝘵-𝘚𝘶𝘩𝘢𝘳𝘵𝘰 𝘦𝘳𝘢. 𝘐𝘚𝘌𝘈𝘚 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com