Komplikasi Penyakit Koruptif Lahirkan Destruktifikasi Penegakan Hukum

Editor: Admin
Fahrizal S.Siagian, S.H.ist




Medan | Garda.id

Penulis merupakan Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis merupakan bagian dari Sahabat ICW Tahun 2022.



“Komplikasi Penyakit Koruptif Lahirkan Destruktifikasi Penegakan Hukum”



Penyakit Koruptif di Indonesia merupakan warisan buruk yang ditinggalkan oleh Kolonialisme Belanda di Nusantara.  Hal ini ditandai dengan destruktifikasi yang dialami oleh Kongsi Dagang Belanda yakni Vereenigde Oostindische Compagnie yang tenar dikenal dengan singkatan VOC mengalami kebangkrutan dan akhirnya gulung tikar alias tutup yang disebabkan penyakit korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) sangat kronis yang menggerogoti tubuh kongsi dagang ini.

Hampir 3 abad setelah kebangkrutan VOC yang disebabkan budaya korupsi yang sangat kronis ikut terbawa-bawa sampai saat ini. Di usia yang ke-77 Tahun pasca kemerdekaan, Indonesia ikut mewarisi budaya korupsi yang dilakukan oleh Kolonial Belanda. Budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sangat kental terjadi di dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Di usianya yang tidak muda, Indonesia yang dikenal sebagai negara hukum tentu seyogyanya memiliki penegakan hukum yang maksimal. Namun, kenyataannya tidak demikian. Praktik-praktik korupsi yang dihiasi oleh budaya-budaya koruptif ikut menggerogoti penegakan hukum di Indonesia. Harapan masyarakat Indonesia tentu sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat haruslah memiliki Sistem Penegakan Hukum yang berkepastian agar maksimalnya hukum dijalankan oleh masyarakat.

Jika menelisik pendapat dari Lawrence M. Friedman, sistem hukum terbagi menjadi 3 unsur utama yakni pertama, Substansi Hukum (Legal Substance) yang meliputi peraturan-peraturan yang berisi perintah dan larangan disertai punishment bagi yang melanggar seperti Produk Hukum Positif antara lain Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya. Selanjutnya, kedua Struktur Hukum (Legal Structure), meliputi aparat penegak hukum sebagai Law enforcement officials meliputi Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Kekuasaan Kehakiman, Advokat, dan lembaga-lembaga lain yang berfungsi sebagai pelaksana atau penegak peraturan. Unsur ketiga yaitu Budaya Hukum (Legal Culture) yang membahas terkait kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berkenaan dengan tingkat kesadaran masyarakat untuk mematuhi peraturan-peraturan mulai dari hal terkecil hingga yang terbesar. Berbicara mengenai budaya, maka berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Penegakan hukum di Indonesia sedang berada di dalam masa krisis. Komplikasi penyakit koruptif yang merajalela menggerogoti berbagai komponen bangsa mulai dari Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Semua komponen bangsa sudah terkontaminasi praktik-praktik korupsi yang berimplikasi tidak maksimalnya pelayanan publik (public services). Penegakan hukum yang sejatinya harus maksimal, kenyataannya belum tercapai. Hal ini terlihat pada ketiga unsur pendukung terbentuknya sistem hukum menurut Friedman tidak berjalan maksimal. 

Pertama, Belum maksimalnya penafsiran terhadap substansi hukum berupa kelirunya dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan atau bahkan terdapat kekeliruan di dalam konteks peraturan perundang-undangan membuat tidak maksimalnya penegakan hukum. Hal ini terlihat dalam proses peradilan terhadap sebuah tragedi kemanusiaan dalam pertandingan sepakbola yang terjadi Tahun 2022 lalu, merenggut ratusan jiwa. Proses peradilan yang berlangsung penuh dengan pro-kontra, mulai dari yang bertindak sebagai Penasihat Hukum ialah anggota kepolisian aktif hingga intensitas vonis terhadap terdakwa yang dinilai belum memberikan rasa adil bagi keluarga korban kanjuruhan. Hal ini terjadi karena perbedaan pemikiran tentang penerapan peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk diterapkan pada proses peradilan, dinilai menjadi penyebab belum maksimalnya penegakan hukum dalam peristiwa tersebut. Penasihat hukum dari unsur Kepolisian, di dalam KUHAP, Pasal 1 Ayat 13 menyebutkan Penasihat Hukum adalah seseorang yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Berdasarkan bunyi pasal tersebut terlihat bahwa penasihat hukum merupakan orang perorangan yang bersifat independen dan tidak terikat ikatan dinas apapun. Sedangkan peraturan yang melegalkan aparat Kepolisian untuk menjadi Penasihat Hukum termuat di dalam Pasal 13 Ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Polri yang berbunyi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Ayat 2 dilakukan dengan memanfaatkan penasehat hukum dari institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan atau penasehat hukum lainnya. Peraturan ini tentu telah bertentangan dengan KUHAP dan juga Pasal 32 Ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang berbunyi Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara praktik dan Konsultan Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur di dalam Undang-undang ini. Oleh karena itu, yang disebut sebagai Penasihat Hukum ialah seorang Advokat. Sedangkan syarat sahnya pengangkatan Advokat ialah bukan merupakan pejabat negara atau pegawai negara. Oleh karena itu, memberikan izin kepada anggota Polri aktif sebagai Penasihat Hukum pada sebuah persidangan tentu telah menciderai semangat independensi peradilan umum. Hal ini telah ditegaskan di dalam Pasal 29 Ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Oleh karenanya, setiap anggota Polri harus tunduk pada amanat KUHAP tanpa terkecuali. Di dalam KUHAP tidak terdapat legalitas anggota Polri aktif bertindak sebagai Penasihat Hukum di dalam Peradilan Umum. Selain perbedaan penafsiran penerapan peraturan perundang-undangan, juga terdapat kejanggalan vonis yang dijatuhkan terhadap para tersangka. 

Kedua, Permasalahan dalam struktur hukum yakni kesadaran aparat penegak hukum masih sangat lemah. Melemahnya kinerja lembaga anti rasuah di Indonesia juga turut serta menyebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak maksimal. Lembaga ini sejatinya harus diperkuat demi tercapainya penegakan hukum yang maksimal sehingga memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Lembaga Anti rasuah harus berdiri dengan independen dan tidak terikat oleh kekuasaan eksekutif. Memperkuat lembaga haruslah mempertimbangkan kedudukan dan status lembaga menjadi independen. Lembaga ini akan pulih apabila Presiden menerbitkan Perppu terhadap UU No. 19 Tahun 2019 Tentang KPK untuk menormalisasi struktural lembaga itu. Tidak hanya lembaga itu, namun seluruh komponen bangsa harus membentuk kualitas SDM dengan kesadaran penegakan hukum berintegritas tinggi.

Ketiga, Budaya di dalam lingkup penegakan hukum juga masih dihadapkan pada budaya koruptif yakni KKN bisa juga disebut budaya politisasi. Masih segar dalam ingatan, peristiwa suap terhadap Hakim Agung yang seharusnya diagungkan bertindak sebagai wakil Tuhan haruslah mengedepankan integritas. Berbagai carut-marut penafsiran peraturan perundang-undangan maupun budaya penegakan hukum oleh aparat yang belum terlihat maksimal menimbulkan berbagai macam permasalahan penegakan hukum, seperti kesalahan dalam penerapan peraturan yang berakibat timbulnya ketidakadilan terhadap masyarakat. Selain itu, peristiwa suap-menyuap sudah banyak terjadi, baik di lingkup aparat penegak hukum maupun di institusi negara lainnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peristiwa-peristiwa yang menciderai semangat penegakan hukum yang berimplikasi destruktifikasi penegakan hukum Indonesia.

Solusi yang bisa mengembalikan marwah penegakan hukum sesuai kodratnya yakni harus memaksimalkannya ketiga unsur dalam Sistem Hukum menurut Friedman yakni Substansi, Struktur dan Budaya Hukum. Selain itu, di dalam rangkaian tahapan penegakan hukum harus mengedepankan tercapainya keadilan hukum diatas kepastian dan kemanfaatan hukum sesuai teori Gustav Radbruch.

Identitas Penulis:

Nama : Fahrizal S.Siagian, S.H.

Tempat Tanggal Lahir : Pijorkoling, 12 Juni 1999

No. Hp : 085277548320 __ rel

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com