![]() |
Ist |
Jakarta | Garfa.id
Nanti malam, bila tidak ada aral melintang, timnas U23 kita akan berhadapan dengan timmas U23 Uzbekistan di perempat final Piala Asia U23 2024.
Setelah menang dalam drama adu penalti yang memeras airmata melawan Korea Selatan, kita punya harapan besar tim asuhan Shin Taeyong [ bukan Sentiong :D ] dapat memetik kemenangan melawan Uzbekistan.
Saya bukan pengamat sepakbola. Pemerhati pun tidak. Peduli, iya.
Kemarin ada teman yang cerita, katanya, dalam beberapa pertandingan sebelumnya kita selalu kalah dari Uzbekistan. Tapi, dia yakin formasi baru dan racikan STY juga dukungan luas masyarakat Indonesia di tanah air, di negeri Belanda, terutama di stadion di Qatar sana, akan membuat pertandingan melawan Uzbekistan kali ini akan berbeda dengan pertandingan-pertandingan sebelumnya. Insya Allah.
Tapi bagaimanapun di arena Piala Asia U23 ini, Uzbekistan tak bisa dipandang sebelah mata. Di babak penyisihan tim negeri Amir Timur ini tampil sempurna. Selalu memetik tiga angka dalam setiap pertandingan. Hebatnya, sampai kini gawangnya belum pernah kebobolan. Uzbekistan juga menjadi empat besar Piala Asia sejak 2018. Hal ini barusan saya baca.
Jadi kita tak boleh lengah. Ujian sebenarnya ada di lapangan. Kita berdoa, memberikan dukungan, dan berharap permainan terbaik dari squad Garuda kebanggaan kita.
Bagi saya Uzbekistan menempati ruang tersendiri di hati. Istimewa. Uzbekistan lah negara pertama yang saya kunjungi sebagai wartawan. Di bulan Oktober-November 2001, hampir 23 tahun lalu.
Perang sedang berkecamuk di Afghanistan kala itu. Saya ditugaskan untuk memperkuat repostase Rakyat Merdeka dari kawasan konflik, melengkapi reportase Imam M Sumarsono alias Ipung yang sudah lebih dahulu berada di Pakistan.
Pimpinan saya, alm. Margiono memberi perintah lisan, "Kamu ke Afghanistan."
Lewat mana lagi, saya tanya dalam hati. Pakistan pintu terdekat ke Kabul seperti jalan buntu. Saya mesti melihat peta Asia Tengah, melakukan riset kecil di tengah keterbatasan akses informasi saat itu, sampai akhirnya saya memilih ke Uzbekistan.
Uzbekistan pintu masuk Uni Soviet ketika menduduki Afghanistan tahun 1979, dan pintu keluar di tahun 1989.
Uzbekistan punya sejarah panjang ribuan tahun. Merupakan etape penting di jalur sutra. Marco Polo muda singgah di Bukhara dan Samarkand dalam perjalanan ke Beijing menemui penguasa Dinasti Yuan Kublai Khan cucu Jenghis Khan dari Mongol yang berhasil menaklukkan Tiongkok.
Sayang sekali, saya tak sempat singgah di dua kota penting itu. Dari Tashkent saya terbang menuju perbatasan di Termez. Melewati hari-hari menatap tepi Sungai Amu Darya dari kejauhan.
Tapi saya merekam urban legend "penemuan makam Imam Bukhari oleh Bung Karno". Dan cerita itu menjadi mahsyur hingga kini.
Seorang senior, Nasihin Masha, pernah bertanya soal ini beberapa tahun lalu.
Saya lupa persisnya jawaban saya. Tapi kira-kira, urban legend tidak menjanjikan atau memastikan fakta peristiwa. Dia adalah pertemuan antara semangat, impian, dan harapan kolektif komunitas yang karena pertemuannya dengan peristiwa kontemporer menghadirkan narasi baru.
Cerita tentang perjalanan saya di Uzbekistan dapat ditemukan di buku yang covernya saya sertakan ini: Di Tepi Amu Darya.
Adapun hasil pertandingan melawan Uzbekistan akan kita saksikan nanti. Insya Allah.oleh : (Teguh Santosa )