
Ilustrasi |
Garda | id ___SEJARAH PEKANBARU PROPINSI RIAU
Oleh : Purwadi _ Ketua Lembaga Olah Kajian Nunsatara LOKANTARA
A. Budaya di Kota Pekanbaru
Penelusuran sejarah budaya perlu dilakukan. Riau Daratan memang ramai pengunjung. Orang Jawa yang merantau ke daerah Riau umumnya mengenal nama Sultan Syarif Kasim II. Nama ini digunakan untuk menyebut Bandara Internasional Pekanbaru.
Untuk menuju wilayah Riau Daratan orang Jawa kebanyakan lebih suka naik pesawat. Penerbangan Surabaya Pekanbaru, Yogya Pekanbaru, Palembang Pekan baru, Medan Pekanbaru,Kuala lumpur Pekanbaru, Singapura Pekan baru, Makasar Pekanbaru, Ambon Pekanbaru, Balik papan Pekanbaru, Merauke Pekanbaru Jakarta Pekanbaru berlangsung setiap hari. Jarak geografis dipermudah oleh kreativitas teknologis.
Dengan demikian transportasi cepat ini telah mencairkan kontak peradaban di seluruh penjuru Indonesia. Maka sebetulnya Riau itu terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Riau Daratan dan Kepulauan Riau. Sejak tahun 2004 keduanya menjadi dua propinsi. Propinsi Riau beribukota di Pekanbaru, sedang Kepulauan Riau adalah propinsi dengan ibukota di Tanjung Pinang. Boleh dikatakan bahwa Riau merupakan pusat budaya Melayu. Untuk mempelajari seluk beluk tradisi bahari, kelautan dan perikanan perlu untuk mengkaji kebudayaan Melayu yang bersumber dari adat istiadat di kawasan Riau.
Di Nusantara bagian barat budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam meliputi sebagian besar wilayah pantai Sumatra dan Semenanjung Malaya (Ricklefs, 1995: 77). Ideologi Melayu daratan yang telah dianalisis dan diambil kesimpulan, alangkah baiknya apabila dikaji secara komparatif dengan budaya Jawa. Kenyataannya di wilayah Riau daratan saat ini juga dihuni oleh etnis Jawa dengan jumlah sekitar 25%. Pergaulan antara penduduk Melayu dengan pendatang dari Jawa berjalan lama. Ekspedisi Pamalayu pada jaman Kraton Singasari menjadi bukti bahwa Melayu dan Jawa terbiasa hidup damai dan berdampingan.
Pembahasan tentang kebudayaan Melayu Riau Daratan dengan budaya Jawa ini menggunakan metode hermeneutik. Teori hermeneutik ini memberi deskripsi tentang penafsiran terhadap karya sastra yang dilakukan oleh penafsir dengan menyadari bahwa dirinya sendiri di tengah-tengah sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsiran, yaitu cara mengerti sebuah teks yang turut dihasilkan tradisi. Pengkajian hermeneutik ditentukan oleh individualitas dan masyarakatnya. Penafsiran terjadi sambil meleburkan cakrawala masa silam dan masa kini, selain yang tejadi adalah si juru tafsir memahami teksnya dan menerapkan teks yang kaku dan lepas dari keterkaitan waktu pada situasinya sendiri (Luxemburg, 1986:62).
Untuk analisis dan deskripsinya memakai teori filsafat sosial dan budaya. Untuk itu perlu diperhatikan analisis yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1996) yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Diharapkan pembahasan ini membantu dalam memahami seluk beluk budaya Melayu daratan yang meliputi asal-usul, sejarah, sastra, seni dan pandangan hidup. Secara hermeneutis pemahaman ini menjadi landasan untuk membandingkan dengan budaya Jawa yang berkembang di daerah Riau daratan. Kehidupan Melayu telah disebutkan dalam prasasti Talang Tuwo dan Telaga Batu (Paul Michel Munoz, 2009: 168).
Definisi filsafat yang menitikberatkan pada pengertian tentang cinta kebijaksanaan menjadi penting untuk diterapkan dalam pembahasan ini. Persamaan dan perbedaan budaya dalam perspektif filosofis hendaknya diarahkan untuk memperoleh kebijaksanaan lokal (local wisdom). Butir-butir kearifan lokal yang terkandung dalam budaya Jawa termasuk kontribusi yang berharga dalam mengembangkan kontak peradaban di masa depan. Analisis ini menggunakan filsafat dengan aliran eudamonisme. Adapun eudamonisme berasal dari bahasa Yunani Eudamonia, artinya kebahagiaan. Eudamonisme merupakan teori etika yang menjelaskan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan (Ali Mudhofir, 1988: 26).
Ekspedisi Pamalayu dijelaskan dalam kitab Pararaton dan Negarakertagama (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993: 83).Oleh karena itu kajian ini dalam rangka mewujudkan integrasi bangsa yang berlandaskan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan yang menjunjung tinggi aspek perbedaan dan keragaman. Dalam hal ini Muhammad Yamin (1951: 1) telah mempelopori penulisan 6000 tahun Sang Merah Putih, sebagai sarana legitimasi kemerdekaan Indonesia. Di dalamnya terdapat penjelasan bahwa warna merah putih telah menjadi simbol nusantara. Bangsa Indonesia termasuk Melayu dan Jawa telah mengalami sejarah yang cukup panjang (Sunoto, 1983: 1). Keduanya telah mewariskan beragam nilai luhur.
Interaksi sosial antar etnis selama berjalan mulus dan halus. Bangsa ini perlu mengucapkan terima kasih pada the founding fathers yang meletakkan dasar-dasar etika kenegaraan yang memungkinkan para anggota serta warganya dapat hidup secara harmonis. Peta sosiologis diletakkan secara tepat, sehingga terhindar dari konflik sosial yang bersumber dari perbedaan apa pun. Apresiasi kultural dan sosial ini penting adanya, dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara.
B. Budaya Melayu dan Budaya Jawa
Budaya Melayu daratan ini diteliti melalui pustaka dan wawancara. Eksistensi budaya Melayu tentu saja diakui dalam lintasan sejarah yang berlangsung berabad-abad. Literatur tentang budaya Melayu disimpan dalam berbagai perpustakaan. Kini di kota Pekanbaru pun berdiri perpustakaan yang megah, mewah, besar dan luas. Pemerintah Propinsi Riau memberi nama Perpustakaan Soeman HS. Para pengkaji sastra Indonesia akrab dengan nama ini, berhubung Soeman HS produktif dalam berkarya pada jaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru, sekitar tahun 1930-an. Pada awal penerbit Balai Pustaka Soeman HS namanya harum dan berkibar. Berdirinya perpustakaan itu merupakan aplikasi nasehat para leluhur Melayu sebagaimana kutipan pantun berikut:
Berburu ke padang datar,
mendapat rusa belang kaki.
Berguru kepalang ajar,
bagai bunga kembang tak jadi.
Anak ayam turun sepuluh,
mati satu tinggal sembilan.
Tuntut ilmu bersungguh-sungguh,
suatu jangan ketinggalan.
(Van Ophuysen, 2008: 217)
Pada tanggal 26 - 28 Januari 2014 diadakan riset dan wawancara. Tempatnya di Desa Danau, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar Propinsi Riau. Informan yang bersedia memberi data yaitu saudara Hj. Mirwanis SE, HM. Nasruddin Anshoriy Ch, Hj. Ella S Nurlaela Zahroh, Hj. Maryani dan H. Zul. Mereka memahami seluk beluk budaya Melayu dan budaya Jawa. Kebetulan mereka juga mengelola lembaga Pesan-trend Ilmu Giri yang bergerak dalam bidang kebudayaan. Khusus Hj. Mirwanis SE mendapat anugerah gelar keraton Kanjeng Mas Tumenggung Sekar Jalanidhi. Dengan lembaga kebudayaan ini telah dihasilkan beberapa riset, misalnya Ensiklopedi Kebudayaan Sunda, Ensiklopedi Kebudayaan Melayu, Serat Centhini Karya Paku Buwana V, Kamus Kebudayaan Jawa dan Atlas Kebudayaan Islam Nusantara. Lembaga penelitian sosial dan humaniora yang tergabung dalam Pesan-trend Ilmu Giri ini ke depan akan berperan serta dalam pengkajian kebudayaan nasional.
Demi kelancaran penelitian lembaga Ilmu Giri telah menugaskan pemandu yang bernama Deny Chandra. Dengan sukarela Deny Chandra menjemput peneliti di Bandara Sultan Syarif Kasim II pada hari Minggu, 26 Januari 2014 pukul 10.30. Sambil menuju penginapan, dia bercerita bahwa dirinya suka makan pecel lele. Penjualnya orang Lamongan, pecel lele dan nasi uduk bertebaran di kota Pekanbaru hingga pelosok desa. Ciri-cirinya pasang tenda, spanduk dan disajikan pada waktu sore sampai malam, antara pukul 17.00 – 24.00. Nasi uduk, nasi putih, lele goreng, lele bakar, nila, bawal, tempe dan telor, yang disertakan sambel, lalapan kubis, timun dan kemangi. Kobokan yang berguna untuk mencuci tangan diberi jeruk nipis, agar tidak berbau. Di mana-mana penjual lele made in Lamongan seragam dan begitu. Selama di perantauan tanah Riau orang Jawa senantiasa ingat dan mengamalkan ajaran leluhur :
Dhandhanggula
Luwih lara larane kang ati,
nora kaya wong tininggal arta,
kang wus ilang piyandele,
lipure mung yen turu,
lamun tangi sungkawa malih,
yaiku ukumira,
wong nglirwakken tuduh,
angilangken budidaya,
temah papa asor denira dumadi,
tan amor lan sasama.
Kaduwunge saya angranuhi,
sanalika kadi suduk jiwa,
enget mring kaluputane,
yen kena putranipun,
aja kadi kang wus winuni,
dumeh wus darbe sira,
panci pancen cukup,
becik linawan gauta,
kang supaya kaywananing dumadi,
panulak mring sangsara.
Terjemahan :
Lebih sakit terasa dalam hati
tak seperti orang yang tidak punya uang
yang tidak percaya diri
terhibur hanya saat tidur
jika bangun berduka lagi
itulah pidananya
orang mengabaikan petunjuk
menghilangkan kekuatan
akhirnya rendah sebagai makhluk hidup
dijauhi oleh sesama.
Menyesalnya semakin menjadi
seketika ingin bunuh diri
ingat pada salahnya
jika kena keturunannya
jangan seperti dahulu
hanya karena sudah punya
memang sedang cukup
sebaiknya melakukan usaha
supaya hidup ini selamat
penolak segala sengsara.
(Mangkunegara IV, 1937: 7)
Pitutur luhur tersebut dihayati benar oleh orang Jawa yang sedang berusaha keras untuk memperoleh kesejahteraan. Tempo 10 menit sudah sampai Hotel Sabrina di jalan Tuanku Tambusia. Letaknya strategis di jantung kota. Akses ke mana-mana mudah. Belanja, makan dan angkutan tersedia. Peneliti sempat jalan-jalan dengan ojek dan angkutan kota. Rutenya Nangka – Simpang Kanan. Bolak-balik dengan ongkos sekitar Rp. 10.000. Dua kali naik angkot. Sopirnya berasal dari Padang. Ternyata angkot-angkot di Pekanbaru banyak dimiliki etnis Minang. Usaha menengah, PKL, warung makan, penjual di pasar dan segala sektor ekonomi di Pekanbaru banyak dijalankan orang Minang. Sedang orang Melayu Riau lebih banyak tinggal di sektor perikanan. Pelayan Hotel Sabrina bernama Sugeng. Dia berasal dari Wonosobo Jawa Tengah. Aktivitas di Hotel Sabrina cukup sebentar. Mandi dan ganti pakaian. Menjelang pukul 12.00 makan siang di rumah makan Padang. Lauknya daging kerbau. Masakan Padang rata-rata sama gayanya. Bumbu dan rasa tidak jauh berbeda dengan masakan Padang di Jawa. Makanannya pun cukup dan cocok, karena banyak menu pilihan.
Segera meluncur ke Kabupaten Kampar. Dari Pekanbaru sampai ibukota Kampar kurang lebih 1,5 jam. Setara dengan jarak Solo Ngawi, sepanjang jalan banyak tumbuh karet dan kelapa sawit. Memang benar bumi Riau ada yang menyebut atas minyak bawah minyak. Kelapa sawit merupakan suatu komoditi yang unik dipandang dari segi proses yang harus ditempuh oleh komoditi ini sebelum kelapa sawit mampu meraih tempat dalam dunia perdagangan internasional sebagai komoditi yang penting (Loekman Soetrisno & Retno Winahyu, 1991: 9). Minyak bawah yang dimaksud adalah kekayaan minyak bumi. Riau menyumbang 70% migas nasional. Minyak atas adalah minyak yang berasal dari kelapa sawit.
Kanan kiri jalan terdapat lahan yang berawa-rawa. Mungkin karena jauh dari lautan, maka air-air tersebut tergenang terus. Sulit mengalir. Apalagi daratan itu pada hamparan yang datar, maka air-air tampaknya sulit meresap. Begitulah munculnya rawa-rawa di daratan Riau. Aspek yang menyulitkan, jalan-jalan mudah rusak. Tanah yang berawa itu menjadikan jauh dari pemukiman sebab untuk membuat perumahan perlu menimbun tanah berawa. Tentu memerlukan biaya yang sangat besar. Biaya menimbun lebih mahal daripada beli lahan. Berbeda dengan lokasi di tanah Jawa yang banyak bermunculan gunung-gunung. Misalnya gunung Galunggung, gunung Salak, gunung Sumbing, gunung Slamet, gunung Merbabu, gunung Merapi, gunung Wilis, gunung Lawu, gunung Pandhan, gunung Bromo dan gunung Semeru. Riau daratan tidak ada gunung. Sepanjang mata memandang hanya tampak daratan yang datar.
Keadaan alam yang kaya raya tersebut meliputi di kabupaten Kampar, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir. Dalam abad XVI Indrapura, Indragiri dan Jambi di bawah kekuasaan Minangkabau (Sartono Kartodirdjo, 1987: 116). Tanah-tanahnya berwarna putih, berdebu dan sebagian berkapur. Tak mengherankan cocok untuk bahan pembuatan semen. Semen Padang banyak mengambil bahan dasar dari kawasan Riau. Jarak Propinsi Sumatera Barat dengan Propinsi Riau memang berhimpitan. Malahan banyak warga Pekanbaru dan sekitarnya setiap akhir pekan berkunjung ke Padang, Bukit Tinggi di Sumatera Barat untuk menikmati hari libur. Untuk rekreasi warga Riau memilih Sumatera Barat. Jarak tempuh sekitar 3 – 5 jam naik mobil. Memang dekat sekali.
Kehidupan rohani keagamaan banyak didominasi oleh kegiatan keislaman. Maklum etnis Melayu identik dengan pemeluk Islam. Masjid-masjid berdiri megah. Kubahnya mewah. Di Kabupaten Kampar terdapat Pondok Pesantren Putri Gontor, yang bermarkas pusat di Ponorogo, Jawa Timur. Bangunan mirip sekali dengan Pondok Gontor Putri di Mantingan Ngawi Jawa Timur. Barangkali alumni Gontor tersebar di Propinsi Riau dan membuat cabang pendidikan keislaman di sini. Kualitas pendidikan Pondok Pesantren Gontor mengalami perkembangan yang amat pesat.
Buah-buahan yang disajikan di pinggir jalan adalah nanas, durian, pisang. Cara menjual sama dengan di Jawa. Tidak keliru memang. Para transmigran dan pendatang dari Jawa meneruskan tradisi di perantauan. Bertani dan berjualan di tanah rantau tetap berlanjut. Antara penjual dan pembeli pun menggunakan bahasa Jawa. Seolah-olah mereka di pulau Jawa saja. Rupa-rupanya untuk urusan pertanian, bagi etnis Jawa adalah pelopor. Lumbung padi bisa diserahkan pada petani. Bulog seharusnya dikelola petani. Mereka hendaknya diberi kepercayaan untuk merancang dan mengelola. Tekad petani pasti demi mewujudkan masyarakat yang murah sandang pangan.
Deretan jalan ada tanaman tebu yang tak bisa dimakan. Namanya tebu anjing. Fungsinya cuma hiasan. Kadang-kadang tidak ditanam pun tumbuh dengan sendirinya. Tebu anjing dianggap sama dengan alang-alang. Mungkin saja antara alang-alang, rerumputan dan tebu anjing dianggap tidak berguna. Orang Jawa sendiri menanam tebu manis dan tebu wulung untuk keperluan upacara. Bagi masyarakat Jawa tebu punya jarwa dhosok antebing kalbu, sebuah tekad seseorang untuk membangun rumah tangga. Pabrik gula menyebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menyusul pula kebun tebu dan transportasi rel kereta api. Tradisi menanam tebu ini menular pula pada budaya Melayu. Di bidang sosial budaya masyarakat sekitar perkebunan merupakan media pelestari budaya lokal. Banyak kesenian yang berasal dari Jawa tetap berkembang seperti ludruk, kethoprak, reog, ronggeng dan wayang kulit (Soekirman, 2014: 4). Pembinaan warga Jawa tergabung dalam wadah organisasi Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatra). Organisasi bergerak dalam bidang seni budaya.
Jalan-jalan di Propinsi Riau akan diperbaiki. Di sini berdiri PT. Virajnya Rianputra yang mengolah pabrik aspal. Beruntung sekali daerah ini, karena dalam membangun pengerasan jalan dapat dicapai dengan cara yang mudah dan murah. Apalagi kalau proses produktif, maka pabrik bisa berlangsung lama dan untung. Masyarakat pun merasa beruntung dalam melakukan pembangunan jalan. Sungai Siak menjadi sarana transportasi yang menghubungkan Pekanbaru dengan Dumai, Indragiri Hilir, Malaysia, Bagan Siapi-api, Singapura, Medan, Bangka, Belitung, Tanjungpinang dan Batam. Penting sekali peranannya. Pelabuhan Duku dilalui kapal yang hilir mudik. Sebelah pelabuhan ini terdapat kecamatan Rumbai. Hal ini mengingatkan pada putri Sinuhun Paku Buwana XIII, Raja Kraton Surakarta Hadiningrat yang bernama Gusti Kanjeng Ratu Timur Rumbai Kusuma Dewayani yang lahir di Rumbai Pekanbaru Riau.
Pelayaran dan perniagaan di Pekanbaru ramai sepanjang hari. Hasil lautan, kebun, kayu, ikan, kelapa sawit, karet, gas, minyak diangkut dari Pelabuhan Duku. Semua barang dan jasa berjalan menyebar ke dalam dan luar negeri. Barang-barang komoditas impor datang ke Pekanbaru melalui Sungai Siak. Roda perekonomian berjalan lancar. Orang Melayu berjasa menyediakan protein hewani dari Sungai Siak.
Seorang informan bernama Edi Dwi Efendi, SE. Dia kini menjabat sebagai Kepala Cabang Bank Syariah Mandiri di Pekanbaru. Sebelumnya dia pernah menjadi Kepala Cabang di Balikpapan, Kediri dan Yogyakarta. Berbekal pengalaman dia di Jakarta dan berbagai daerah, maka analisis sosial budaya dan ekonomi boleh dikatakan mencukupi. Sekarang dia gemar nyetel lagu-lagu ciptaan pujangga Jawa. Saat di sana dia nyetel gendhing Gleyong untuk mengantar raja kondur angedhaton. Gendhing Monggang untuk mangayubagya pimpinan datang. Gendhing Kebogiro untuk menyambut tamu. Gendhing Udan Mas untuk mengantar tamu. Bahkan sempat pula berdiskusi tentang Lakon Karna Tandhing dan Kresna Duta.
Ketika riset di Masjid Mahmud Pekan, Edi Dwi Efendi melontarkan kritik. Kenapa masjid yang didirikan oleh pendiri Pekanbaru itu kurang terawat. Malah dibiarkan dirubah-rubah. Keaslian mesti dijaga. Jangan dijadikan objek eksperimen. Para pemborong harus sadar sejarah. Sultan Mahmud Pekan hendaknya mendapat penghormatan yang layak dari masyarakat dan Pemerintah Propinsi Riau. Menjadi kewajiban generasi sekarang untuk menghormati jasa-jasa leluhurnya.
Pendapat Edi Dwi Efendi ini demi kecintaannya pada sejarah peradaban bangsa. Arsitektur bangunan mesti diperhatikan. Kota Pekanbaru harus menjadi penyangga ekonomi, sosial dan budaya. Fakta bahwa kota Pekanbaru terjebak pada bangunan monoton. Di mana-mana dibangun ruko. Satu kota seragam. Mulai dari pusat kota sampai pinggiran penuh sesak dengan rumah toko (ruko). Lebih gawat lagi, gedung-gedung SD, SMP dan SMA berbentuk ruko. Tidak kreatif sama sekali. Ruko tidak mengindahkan nilai lokal, etnis, estetis seni dan budaya. Orientasi hanya segi efektifitas dan efisiensi. Kota seribu ruko segera dibendung, dicegah dan dihentikan.
Bersyukurlah di setiap Pemerintah Kabupaten dan Propinsi Riau berdiri Lembaga Adat Melayu. Ibarat secercah harapan. Embun sejuk di panas setahun. Kearifan lokal menjadi bahan kajian. Era modern tak boleh kebablasan. Budaya menjadi alat kontrol atas derasnya modernitas. Adat bersendikan syara. Begitulah semboyan yang dipegang oleh lembaga adat Melayu. Tak lupa juga mengutip raja Ali Haji dengan karyanya yang terkenal yaitu Gurindam Dua Belas. Nasihat Raja Ali Haji ini perlu menjadi pegangan dan pedoman masyarakat Riau. Raja Ali Haji adalah pengarang yang dimakamkan di pulau Penyengat Tanjungpinang (Hamzah Yunus, 2003: 13). Raja Ali Haji memberi nasehat demikian:
Apabila terpelihara lidah
Niscaya dapat daripadanya faedah
Hendaklah peliharakan kaki
Daripada berjalan yang membawa rugi
(Raja Ali Haji, 2003: 3)
Adat raja-raja Melayu berisi tentang etika, estetika dan tradisi Melayu yang telah diwariskan secara turun temurun (Tardjan Hadidjaja, 1952: 3). Berkaitan dengan kemajuan jaman, kegiatan Riau TV perlu mendapat apresiasi. Potensi lokal ini gemar membuat acara budaya. Misal Tembang Wengi yang menyiarkan acara wayang purwa, kethoprak, gamelan, kerawitan dan lagu-lagu Jawa. Untuk acara Detak Melayu tentu menjadi ajang untuk promosi kebudayaan Melayu. Riau TV ini amat populer di kalangan masyarakat tradisional. Acara ini hendaknya ditingkatkan terus demi memperkokoh jatidiri bangsa.
C. Kaca Benggala Budaya
Akulturasi budaya Melayu daratan dengan budaya Jawa berlangsung secara selaras, serasi dan seimbang. Interaksi sosial budaya ini begitu penting demi terwujudnya integrasi bangsa dan kokohnya NKRI yang sesuai dengan dasar Pancasila. Kajian akulturasi budaya relevan dengan menjaga nilai persatuan dan kesatuan. Setiap gerakan pasti mengandung tantangan dan peluang yang berguna bagi masa depan generasi penerus (Damardjati Supadjar, 2001: 12). Generasi muda menjadi pemilik masa depan.
Dalam konteks historis, sosiologis, filosofis dan estetis sesungguhnya budaya Melayu dan budaya Jawa saling melengkapi. Oleh karena itu pada masa mendatang perlu lagi dilakukan aktivitas kolektif yang melibatkan segenap cendekiawan, ilmuwan, seniman, budayawan, agamawan dan negarawan. Kohesivitas pergaulan antar etnis berguna dalam pembinaan kesadaran hidup bersama yang damai, rukun dan tolong-menolong. Dengan kajian ilmiah akademis itu, maka aktivitas budaya semakin tegak eksistensinya.
Kebudayaan Jawa dan Melayu serta budaya-budaya lokal yang tersebar dari Sabang sampai Merauke jumlahnya berlimpah ruah. Andaikan dikaji terus-menerus secara integral dan komprehensif akan berguna bagi usaha pendidikan karakter yang bersumber dari tradisi dan budaya bangsa, demi mempertebal semangat nasionalisme. Dengan demikian nilai lokal beriringan dengan nilai global di pelosok NKRI. Peranan kebudayaan lokal memang amat penting dan strategis di era globalisasi.
Abstract
This article aim to discribe about Riau culture and Javanese culture. The Riau culture and Javanese culture have local wisdom that is able to be used as guidance in global era. Comparatively both of culture give contribution to Indonesian country to get harmony life in modernization social change. Traditional Riau and Java value that fill morality, spirituality and society can create good behavior. National identity originate history and culture that live between Indonesian etnic from Sabang until Merauke territory. Indonesian people is agree doctrin that order by advice about multikulturalism, tolerance, and inclusive as interaction principe. That is called Bhinneka Tunggal Ika or unity in diversity.
Keywords : Riau, Jawa, culture
DAFTAR PUSTAKA
Ali Mudhofir, 1988, Kamus Filsafat, Yogyakarta : Liberty.
Damardjati Supadjar, 2001, Mawas Diri, Yogyakarta : Philosophy Press.
Hamzah Yunus, 2003, Peninggalan-peninggalan Sejarah di Pulau Penyengat, Pekanbaru : UNRI Press.
Koentjaraningrat, 1996, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta : Gramedia.
Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu, 1991, Kelapa Sawit : Kajian Sosial – Ekonomi, Yogyakarta : Aditya Media.
Luxemburg, 1986, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: Gramedia.
Mangkunegara IV, 1937, Serat Darmawasita, Surakarta: Reksa Pustaka.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta : Balai Pustaka.
Muhammad Yamin, 1951, 6000 Tahun Sang Merah – Putih, Jakarta.
Paul Michel Munoz, 2009, Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia, Yogyakarta : Mitra Abadi.
Raja Ali Haji, 2003, Gurindam Dua Belas, Pekanbaru : UNRI Press.
Ricklefs, 1995, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gama Press.
Sartono Kartodirdjo, 1987, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Jakarta: Gramedia
Soekirman, 2013, Onderneming Van Sergai, Perkembangan Kebun-kebun di Kabupaten Serdang Bedagai, Yogyakarta : Pustaka Raja.
Soerjono Soekanto, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Press.
Sunoto, 1983, Menuju Filsafat Indonesia, Yogyakarta : Hanindita.
Tardjan Hadidjaja, 1952, Adat Radja-radja Melaju, Jakarta : Saptadarma.
Van Ophuysen, 2008, Pantun Melayu, Jakarta : Balai Pustaka.rel