
Ayub Badrin seniman Sumatea Utara/ist |
Garda.id ____ Yah namanya sudah 56 tahun, jadi melihat tahun baru biasa saja. Langit tetap yang kemari-kemarin juga. Cuaca ya gitu-gitu juga. Hanya saja mungkin kita ingin hidup dan berbenah ke arah yang lebih tertib.
Cita-cita ku itu dari dulu ya itu. Ingin hidup tertib. Ingin sekali mengolah rumah menjadi sanggar. Tetapi tertib administrasinya. Hidup dan berteater dengan jadwal latihan yang tertib.
Sampai usia segini, aku belum bisa mewujudkan cita cita itu. Punya sanggar dari bambu. Mengelola sebuah manajemen kesenian. Rasanya bahagia sekali. Tapi tak pernah bisa.
Tetapi setelah melihat kawan-kawan yang bergerak di seni tradisional, aku merasa sangat lemah. Mereka bisa punya alat musik yang lengkap. Walau di rumah mereka tak ada beras. Tak sebiji pun dari alat itu, terjual.
Untuk mempertahankan itu, beberapa dari mereka terpaksa kerja siang hari. Latihan mereka konsentrasikan di malam hari. Kadang bisa datang latihan, kadang juga tak bisa. Namun yang datang tetap latihan apapun latihannya itu.
Bukan satu dua grup yang mempunyai alat. Mereka semua, seniman tradisional itu punya alat musik. Hanya saja mereka tidak terus mengelola keseniannya, melainkan hanya menunggu job.
Padahal mereka bisa terus berproduksi dengan menggelar acara di manapun baik secara ngamen maupun pagelaran karya dengan menjual tiket.
Menurut seorang seniman, mereka sudah pernah dibekali pengetahuan manajemen dari sebuah loka karya yang diselenggarakan pemerintah.
Mestinya bekal itu dapat dijadikan pegangan yang kuat untuk mengolah grup keseniannya yang memang sudah lumayan mumpuni itu. Mestinya grup kesenian tidak boleh mati.
Aku suka bertanya sendiri mengapa grup kesenian mati? Meski ini sangat subjectif, tetapi bagiku jawabannya adalah karena rumahnya tidak dijadikan sanggar.
Jika rumah dijadikan sanggar, setidaknya seorang seniman terpacu untuk melengkapi sanggar dengan atribut atribut berkesenian. Setidaknya tidak khawatir berserakan kemana -mana. Dengan begitu, sanggar bisa dikelola dengan membuat program tahunan bahkan bulanan dan harian.
Aku kira ini harus dilakukan seniman. Bukan tidak boleh juga nongkrong di pusat-pusat kesenian milik pemerintah. Tetapi akan sulit mengelola grup dengan baik. Sebab sebuah grup kesenian bukan hanya punya anggota sebagai aset tetapi juga peralatan lain, seperti kostum, make-up, laighting, alat musik dan lain-lain sebagai penunjang bergeraknya sebuah kelompok kesenian.
Seluruh asset ini harus dikelola dengan managemen yang baik. Walau mungkin "petugasnya" masih belum ada, namun infrastrukturnya harus sudah diujudkan. Lalu dipertahankan hingga puluhan tahun. Setidaknya jika belum ada orang lain, yah keluarga sendiri dulu.
Aku sendiri pun sudah merasa tua. Entah masih bisa entah tidak untuk mewujudkan cita cita mengelola sanggar di rumah. Ah entahlah.. ABA