Ist |
GARAD.ID | RATU KOESTIYAH PAKU BUWANA IX
Purwadi
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA. Hp 087864404347
A. Ratu Paku Buwana
Paku Buwana IX Pelopor Ilmu Bangunan Modern. Trah Paku Buwana IX mengadakan pertemuan pada hari Minggu Kliwon, 13 Pebruari 2022 pukul 9 - 13. Bertempat di Dalem Brotodiningratan kompleks Kraton Surakarta Hadiningrat. Paguyuban Trah berlangsung gancar lancar, tumata nut wirama.
Putra wayah keturunan Paku Buwana IX tersebar di seluruh penjuru dunia. Berbakti pada alam semesta sesuai dengan dedikasi dan profesi. Sumbang sih buat bumi pertiwi. Ini sebagai wujud ulat patrap lan pangucap yang dianjurkan trabibg kusuma rembesing madu.
Kemegahan masa lalu merupakan inspirasi bagi perjuangan masa depan. Paguyuban Trah Paku Buwana IX mengamalkan konsep ilmu iku kelakone kanthi laku. Peristiwa historis dijadikan sebagai bahan refleksi dan referensi. Guna maca owah gingsiring jaman. Agar langkah selalu bener pener, sesuai paugeran yang diajarkan oleh para leluhur.
Sejarah Jumenengan Sinuwun Paku Buwana Kaping Sanga tercatat dengan teliti rapi.
Pada hari Sabtu Wage tanggal 25 Jumadilakir tahun Je wuku Julungwangi windu Sengoro 1790, dengan sengkalan: Muksa Terus Kaswareng Praja atau 28 Desember 1862, dengan sengkalan: Samya Horeg Samadyaning Praja. Susuhunan PB VIII wafat dalam usia 74 tahun dan dimakamkan di Astana Pajimatan Imogiri.
Senin Legi tanggal 27 Jumadilakir tahun Je wuku Sungsang windu Sengoro 1790, dengan sengkalan: Luhur Terus Sabdaning Nata atau 30 Desember 1862, dengan sengkalan: Nembah Rarasing Sarira Nata.
KGP Adipati Anom dinobatkan menjadi raja bergelar Sampeyan-dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senopati Ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Ingkang Kaping IX di Surakarta, pada saat itu usianya 32 tahun, setelah penobatan kemudian dikirab mengelilingi keraton, dan ibundanya GKR Mas mendapat gelar GKR Ageng.
Keadaan negara makin lama makin sejahtera dan pergaulan dengan bangsa asing semakin luas. Para putra, pangeran, dan seluruh kerabat kerajaan serta abdi dalem semakin hormat kepada rajanya. Setelah menjadi raja, Sinuwun PB IX kemudian memperbaiki bangunan di dalam maupun di luar keraton.
Kadang kadang Sinuwun berkenan untuk mendalang wayang purwa maupun wayang gedog.
Pada hari Sabtu Wage tanggal 28 Muharam tahun Dal, wuku Julungwangi, windu Sengoro 1791, dengan sengkalan: Tuhu Trusta Sabdaning Nata atau tanggal 26 Juli 1863, dengan sengkalan: Katon Raras Sariro Narendra. Sinuwun Paku Buwana IX mendapat gelar kehormatan Mayor Jendral dari Ratu Belanda. Pada hari Jumat Wage tanggal 5 Muharam tahun Wawu 1792, dengan sengkalan: Huninga Gatraning Pangandika Nabi. Sinuwun PB IX berkenan sholat Jumat di Masjid Agung bersama-sama dengan para pangeran dan para abdi dalem, masih dalam tahun Wawu beliau teringat saat masih bergelar KGPH Praboewidjojo, ketika sedang menyepi di pinggir bengawan dibawah pohon Ingas sebelah utara desa Nglawu, mendapat petunjuk supaya mendirikan pesanggrahan di desa Klareyan.
Kemudian Sinuwun memberi perintah untuk membersihkan tempat yang akan dipakai untuk membangun pesanggrahan di desa Klareyan. Sedangkan yang ditunjuk adalah abdi dalem hurdenas R. Atmosoepono, R. Atmoroedjito, dibantu oleh M. Soekir (Ngabei Atmowimono), M. Soemardjo (Mas Ngabei Atmotjoendoko / Ngabei Boedjotani), Mas Djaswadi (Ngabei Atmohoedojo), Mas Sarparen (M. Lurah Atmohoesodo). Kurang lebih setahun kemudian tempat untuk mendirikan pesanggrahan sudah siap. Paku Buwana IX merupakan raja pujangga yang handal dan profesional, kasusra ing jagad raya.
B. Putri Mangkunegaran
Paku Buwana IX Raja Pujangga. Serat Wulang Putri, Warni Warni, Wulang Putra adalah karya tulis Sinuwun Paku Buwana IX. Tampil sebagai raja yang sukses membangun kerajaan. Maka mendapat julukan Sinuwun Bangun Kedhaton. Sebagai sastrawan produktif, Paku Buwana IX merupakan pujangga agung.
Karya berbobot diwariskan sebagai sarana pendidikan karakter. Diceritakan keinginan Sinuwun untuk menikah lagi semakin kuat dikarenakan Sinuwun belum memiliki permaisuri. Sedangkan putri yang ingin dinikahinya selalu menolak. Pada malam Kamis Kliwon tanggal 29 Jumadilawal tahun Jimakir 1794, atau 19 Oktober 1865, Sinuwun berkunjung ke rumah tuan Asisten Residen Van Vrins di Jebres, untuk menghadiri pernikahan tuan Asisten Residen dengan anaknya LESES di Temulus.
Selain mengundang para tuan-tuan, nyonya-nyonya dan para pangeran, GKR Bendoro istrinya almarhum BKPH Hadiwidjojo serta putrinya yang bernama R. Ajeng Koestijah juga diundang, sebab tuan Asisten Residen adalah mitra almarhum BKPH Hadiwidjojo. Kira-kira jam 12 malam, ketika sedang ramai-ramainya berpesta dansa ada cahaya sebesar buah kelapa yang memancar dari arah selatan dan berputar-putar di atas rumah tuan Asisten Residen. Tidak lama kemudian cahaya itu masuk ke dalam loji, sehingga seluruh ruangan di loji menjadi terang benderang seperti siang hari, cahaya tersebut menyelimuti R. Ajeng Koestijah, beberapa saat kemudian cahaya itu lenyap dan keadaan kembali seperti semula, namun diri R. Ajeng Koestijah terlihat bercahaya sehingga membuat kagum yang melihatnya, seketika itu juga Sinuwun menjadi terpesona melihat R. Ajeng Koestijah dan melupakan putri yang selama ini selalu ditunggunya.
Sesungguhnya BKPH Hdiwidjojo adalah kakak kandung Sri Mangkunegara IV. Dari alur keluarga Paku Buwana IX adalah mantu keponakan Mangkunegara IV (Sarjono Darmosarkoro, 1992 : 5).
Sesampainya di keraton Sinuwun lalu menuju ke Sasana Parasdya dan memanggil BKPH Kolonel Poerbo Nagoro diutus untuk menghadap kepada Gusti Kanjeng Ratu, jika berkenan R Ajeng Koestijah akan dijadikan permaisuri Sinuwun PB IX. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro menyetujui dan pernikahannya dilaksanakan pada hari Senin Legi tanggal 16 Rejeb tahun Jimakir, windu Sengoro 1794, dengan sengkalan: Dadi Trus Sukaning Nata, atau 4 Desember 1865 dengan sengkalan: Margo Winayang Sariraning Ratu. Sebagai seorang permaisuri R Ajeng Koestijah kemudian mendapat gelar Kanjeng Ratu Paku Buwana.
Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan mendapat bintang Kumanduring Orde Nederlandse Leo di Karesidenan pada hari Senin Kliwon tanggal 24 Jumadilakir tahun Jimakir 1794 dengan sengkalan: Warno Trusto Kaswareng Rat atau 13 November 1865 dengan sengkalan: Margo Karoso Kesti Narendro.
Menginjak tahun Alip 1795 permaisuri Sinuwun PB IX, Kanjeng Ratu Paku Buwana mulai mengandung sehingga membuat bahagia para sesepuh, seluruh kerabat kerajaan dan abdi dalem.
Kamis Legi tanggal 21 Rejeb tahun Alip wuku Wugu windu Sancoyo 1795 dengan sengkalan Gati Trus Sukaning Nata atau 29 November 1866 mangsa kanem dengan sengkalan: Hoyak Maras Murtining Putra, jam setengah tujuh pagi Kanjeng Ratu Paku Buwana melahirkan putra laki-laki. Abdi dalem prajurit kemudian membunyikan slompret tambur dibarengi dengan suara gamelan monggang, kodok ngorek dan bunyi drel serta meriam. Seluruh rakyat bersuka cita menyambut kelahiran sang rajaputra.
Oleh Sinuwun Paku Buwana IX Gusti Timur diberi nama BRM Gusti Sayidin Malikul Chusna serta diangkat anak oleh eyangnya yaitu Gusti Kanjeng Ratu Ageng.
Setelah berumur 3 tahun, Gusti Sang Rajaputra dinobatkan menjadi putra mahkota dan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunagoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram V di Surakarta. Setelah berumur 24 tahun atas ijin dari ayahandanya kemudian dinikahkan dengan putri KGPAA Mangkunagoro IV bernama Bendoro Raden Ajeng Soemarti. Kelak putra yang lahir ini menjadi raja Kraton Surakarta Hadiningrat. Gelarnya Sahandhap Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Paku Buwana kaping Sedasa.
C. Para Garwa Putra.
Proses pemilihan dan penetapan permaisuri raja.
dilakukan dengan sangat ketat. Asal usul, kecakapan dan wawasan menjadi pertimbangan utama. Raja, pejabat, sesepuh dan kerabat kerajaan diajak bicara. Dari seorang permaisuri ini lahir putra mahkota.
Permaisuri sinuwun ada 2 orang, GKRt Paku Buwana, ibunda Sampeyan Dalem Ingkang Minulya Saha Wicaksana Ingkang Sinwuun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana X, serta KRt Paku Buwana yang kemudian berganti nama menjadi KRt Maduretno. Sebelum menjadi permaisuri bernama R Larasati, lalu diangkat bernama R Ayu Adipati Mandoyoprono II, memiliki seorang putra bernama BRM Siwito yang meninggal sebelum dewasa. Sedangkan selir sinuwun berjumlah 53, yang memiliki putra 29 orang, yang tidak memiliki putra 24 orang. Putra-putri sinuwun seluruhnya berjumlah 58, yaitu:
1. BRM Adammadi, setelah dewasa bernama BKP Hangabei, setelah diberi payung emas berganti nama menjadi KGPH Prabuwijoyo, (lahir dari R Ayu Werdiningrum).
2. BR Ajeng Samsikin, setelah menikah bernama BR Ayu Suryodipuro, (lahir dari selir R. Ayu Retnoadiningrum).
3. BRM Kanapi, setelah dewasa bernama BKPH Mataram, setelah menerima payung emas berganti nama menjadi KGPH Mataram, (lahir dari selir R Ayu Dewaningrum).
4. BR Ajeng Rachmaniyah, setelah menikah bernama BR Ayu Wiryodiningrat, (lahir dari selir R Ayu Murtiningrum).
5. BRM Suroto setelah dewasa bernama BKPH Notokusumo (lahir dari selir R Ayu Werdiningrum).
6. BR Ajeng Samsimah, setelah menikah yang pertama bernama BR Ayu Hadinagoro – suaminya meninggal kemudian menikah lagi dan berganti nama BR Ayu Sumaningrat (lahir dari selir R Ayu Retnoadiningrum)
7. BRM Rachmat, setelah dewasa bernama BKPH Hadikusumo (lahir dari selir R Ayu Dewaningrum).
8. BR Ajeng Samsiyah, (lahir dari selir R Ayu Retnoadiningrum).
9. BR Ajeng Suratiyah, (lahir dari selir R Ayu Murtiningrum)
10. BR Ajeng Samsinah, setelah menikah yang pertama bernama BR Ayu Puspokusumo – berpisah, lalu menikah lagi dan berganti nama BR Ayu Adipati Sosrodiningrat (lahir dari selir R Tejaningrum).
11. BRM Sutresno, setelah dewasa bernama BKPH Mloyokusumo I (lahir dari selir R Ayu Murtiningrum).
12. BRM Sanicoso, setelah dewasa bernama BKPH Nyokrokusumo, (lahir dari selir R Ayu Murtiningrum).
13. BR Ajeng Sitisuwiyah, setelah menikah bernama BR Ayu Brotokusumo, (lahir dari selir R Ayu Semaraningrum).
14. BR Ajeng Sitikabibah, (lahir dari selir R Ayu Himbaningrum).
15. BR Ajeng Humikaltum, setelah menikah yang pertama bernama BR Ayu Purwodiningrat – suaminya meninggal, kemudian menikah lagi dan berganti nama BR Ayu Purbonagoro, (lahir dari selir R Ayu Werdiningrum).
16. BR Ajeng Siti Ruwiyah, (lahir dari selir R Ayu Murtiningrum).
17. BRM Sajidi Susetyo, setelah dewasa bernama BRH Cakraningrat I, (lahir dari selir R Ayu Murtiningrum).
18. BR Ajeng Kamariyah, setelah menikah bernama BR Ayu Suryonagoro, (lahir dari selir R Ayu Himbaningrum).
19. BRM Susanto, (lahir dari selir R Doyoresmi – kemudian diberi nama Nyai MT Secodipuro).
20. BRM Imam Dawud setelah dewasa bernama BKPH Pakuningrat (lahir dari selir R Maniklungit).
21. BRM Sutendro, setelah dewasa bernama BKPH Prabuningrat, (lahir dari selir R.Aj. Adipati Mandoyoprono).
22. BRM Guntur, setelah dewasa bernama BKPH Kusumodiningrat (lahir dari selir R Ayu Doyopurnomo).
23. BR Ajeng Sudarmi, (lahir dari selir R Hambarsirat).
24. BRM Abadi, setelah dewasa bernama BKPH Purbodiningrat (lahir dari selir R Doyoasmoro).
25. BR Ajeng Sutaji, setelah menikah bernama BR Ayu Jayaningrat (lahir dari selir R Mandoyoprono).
26. BR Ayu Sitikabarin, setelah menikah bernama BR Ayu Prawiraningrat (lahir dari selir R Doyosari).
27. BR Ajeng Sitisuimah (lahir dari selir R Ayu Wignyaningrum).
28. BR Ajeng Sulalis, (lahir dari selir R Ayu Tasikwulan).
29. BRM Satriyo, setelah dewasa bernama BKPH Cokrodiningrat, (lahir dari selir R Ayu Pujaningrum).
30. BR Ajeng Saptirin, setelah menikah bernama BR Ayu Yudanagoro, (lahir dari selir R Ayu Doyopurnomo)
31. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Ingkang Minulya Saha Ingkang Wicaksana Kanjeng Susuhunan Paku Buwana X, (lahir dari permaisuri Kanjeng Ratu Paku Buwana).
32. BRM Sunoto, (lahir dari selir R Ayu Adipati Mandoyoprono).
33. BR Ajeng Sitimulat, setelah menikah bernama R Ayu Danuningrat (lahir dari selir R Gantangsari).
34. BRM Sudarmaji, setelah dewasa bernama BKPH Cakraningrat II (lahir dari selir R Ayu Pujakusuma).
35. BR Ajeng Siti Atikah, setelah menikah bernama BR Ayu Brotojoyo (lahir dari selir R Ayu Wignyaningrum).
36. BR Ajeng Sutati (lahir dari selir R Ayu Adipati Mandoyoprono).
37. BR Ajeng Muriyati, setelah menikah yang pertama kali bernama BR Ayu Padmowinoto – suaminya meninggal, menikah lagi berganti nama BR Ayu Adipati Joyoningrat (lahir dari selir R Citrosari).
38. BRM Sudarmojo, setelah dewasa bernama BKPH Kusumodilogo, (lahir dari selir R Ayu Adipati Mandoyoprono).
39. BRM Sudarmadi, (lahir dari selir R Ayu Doyopurnomo).
40. BR Ajeng Sudinah, setelah menikah bernama BR Ayu Condronagoro (lahir dari selir R Ayu Dewoasmoro).
41. BR Ajeng Suliyah, setelah menikah bernama BR Ayu Joyodiningrat, (lahir dari selir R Doyokusumo).
42. BRM Danangjoyo, (lahir dari selir R Ayu Rogasmara).
43. BRM Susedo (lahir dari selir R Ayu Adipati Mandoyoprono).
44. BRM Menaksunoyo (lahir dari selir R Ayu Dewoasmara).
45. BRM Subakdo, setelah dewasa bernama BKPH Mangkudiningrat (lahir dari selir R Ayu Pandansari).
46. BRM Harjuno, setelah dewasa bernama BKPH Hadiningrat (lahir dari selir R Ayu Retnoningrum).
47. BR Ajeng Suparti, setelah menikah yang pertama kali bernama BR Ayu Nataningrat – suaminya meninggal, lalu menikah lagi dan berganti anma menjadi BR Ayu Condronagoro II (lahir dari selir R Dayaningrat).
48. BRM Wiyadi, setelah dewasa bernama BKPH Mloyokusumo ingkang kaping II (lahir dari selir R Ayu Pujakusumo).
49. BRM Hibnumulki, (lahir dari selir R Gantangsari).
50. BRM Rustamaji, setelah dewasa bernama BKPH Sontokusumo (lahir dari selir R Rondonsari).
51. BRM Siswaji, setelah dewasa bernama BKPH Prabumijoyo (lahir dari selir R Ayu Adipati Mandoyoprono).
52. BR Ajeng Siti’imamah (lahir dari selir R Ayu Retnoningrum).
53. BRM Siwito (lahir dari Kanjeng Ratu Maduretno).
54. BR Ajeng Sajarahbanun, setelah menikah bernama BR Ayu Mangkukusumo (lahir dari selir R Jayaningrat).
55. BRM Pamade (lahir dari selir R Ayu Retnoningrum).
56. BRM Janoko, setelah dewasa bernama BKPH Notodiningrat (lahir dari selir R.Aj. Retnoningrum).
57. BRM Sutrono (lahir dari selir R Genowati).
58. BRM Noroyono, setelah dewasa bernama BKPH Prabuwinoto (lahir dari selir R Genowati).
Sinuwun bisa dikatakan dapat mengayomi, dari sekian banyak istri, semua bisa hidup rukun, tidak ada yang terlihat sombong, semua seperti saudara. Yang tua dapat menjadi sesepuh, yang muda bisa menghormati. Apalagi pada Gusti Kanjeng Ratu, semua patuh dan menghormati, Gusti Kanjeng Ratu pun bisa mengayomi para selir, semua disayangi tak ada yang dibeda bedakan.
Ketika R Rarasati diangkat menjadi permaisuri, ia juga mewarisi sifat Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwono yang sudah meninggal. Ia bersikap adil dan welas asih pada para selir dan para putra putri, semata mata berdasarkan sikap ikhlas. Karena itu semua putra merasa senang. Hal demikian menjadi pertanda bahwa sinuwun tidak boleh berpisah dari istri yang sudah tiada.
Mengenai putra dan putri sinuwun satu ibu atau bibi, juga jumlah selir yang tidak memiliki putra.
Putra Putri
1. R. Ayu Werdiningrum:
- KGPH Prabuwijoyo
- BPH Notokusumo
- BR Ayu Purbonagoro
2. R. Ayu Retnoadiningrum:
- BR Ayu Suryodipuro
- BR Ayu Sumaningrat
- BR Ajeng Samsiyah
3. R. Ayu Dewaningrum:
- KGPH Mataram
- BPH Hadikusumo
4. R. Ayu Murtiningrum:
- BKPH Mloyokusumo I
- BKPH Nyokrokusumo
- BKPH Cakraningrat I
- BR Ayu Wiryodiningrat
- BR Ajeng Suratiyah
- BR Ayu Sitiruwiyah
5. R. Ayu Tejaningrum:
- BR Ayu Sosrodiningrat
6. R. Ayu Semaraningrum:
- BR Ayu Brotokusumo
7. R. Ayu Himbaningrum:
- BR Ajeng Sitikabibah
- BR Ayu Suryonagoro
8. R. Ayu Doyoresmi:
- BRM Susanto
9. R. Maniklungit:
- BKPH Pakuningrat
10. R. Ayu Adipati Mandoyoprono:
- BKPH Prabuningrat
- BRM Sunoto
- BKPH Kusumodilogo
- BRM Susedo
- BKPH Prabumijoyo
- BR Ayu Jayaningrat
- BR Ajeng Surati
11. R. Ayu Doyopurnomo:
- BKPH Kusumodiningrat
- BRM Sudarmadi
- BR Ayu Yudonagoro
12. R. Hambarsirat:
- BR Ajeng Sudarmi
13. R. Doyoasmoro:
- BKPH Purbodiningrat
14. R. Doyosari: - BR Ayu Prawiraningrat
15. R. Ayu Wignyaningrum:
- BR Ayu Sitisuimah
16. R. Ayu Tasikwulan:
- BR Ajeng Sulalis
17. R. Ayu Pujaningrum:
- BPH Cokrodiningrat
18. K. Ratu Paku Buwan
- SISMSWK Susuhunan Paku Buwana X
19. R. Gantangsari:
- BRM Ibnumulki
- BR Ayu Danuningrat
20. R. Ayu Pujokusumo:
- BKPH Cokrodiningrat II
- BKPH Mloyokusumo II
21. R. Ayu Wignyaningrum: - BR Ayu Brotojoyo
22. R. Citrosari: - BR Ayu Adipati Joyodiningrat
23. R. Ayu Dewoasmoro:
- BRM Menaksumoyo
- BR Ayu Condronagoro I
24. R. Doyokusumo: - BR Ayu Joyodiningrat
25. R. Ayu Rogasmoro:
- BRM Danangjoyo
26. R. Pandansari:
- BKPH Mangkudiningrat
27. R. Ayu Retnaningrum:
- BKPH Hadiningrat
- BRM Pamade
- BKPH Notodiningrat
- BR Ajeng Siti Imamah
28. R. Dayaningrat:
- BR Ayu Condronagoro II
- BR Ayu Mangkukusumo
29. R. Randansari:
- BKPH Sontokusumo
30. K Ratu Maduretno:
- BRM Siwito
31. R. Genowati:
- BRM Sutrono
- BKPH Prabuwinoto
Para selir yang tidak memiliki anak:
1. R.Aj. A. Sedahmirah
2. R.Aj. Wirasmoro
3. R.Aj. Wredaningrum
4. R.Aj. Hesmuningrum
5. R.Aj. Candraningrum
6. R.Aj. Resminingrum
7. R.Aj. Retnocindogo
8. R.Aj. Retnokusumo
9. R.Aj. Kusumodiningrum
10. R.Aj. Semuningrum
11. R.Aj. Widaningrum
12. R.Aj. Joharmanik
13. R.Aj. Tejoningrum
14. R.Aj. Retnosari
15. R. Dayaningsih
16. R. Tunjungsari
17. R. Wratsari
18. R. Hangronsari
19. R. Retnosari
20. R. Gondowati
21. R. Tranggonosari
22. R. Retnosuprobo
23. R. Retnaningsih
24. R. Sarahwulan
D. Mustikaning Putri
Silsilah Sinuwun Kaping Sanga.
Kerajaan besar di tanah Jawa menjadi leluhur Kraton Surakarta. Kerajaan Mataram, Pajang, Demak, Majapahit, Jenggala, Daha, Kediri, Kahuripan dan Pajajaran merupakan leluhur Paku Buwana X.
Berikut ini adalah sejarah Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan PB IX, hanya diambil seperlunya saja mulai Kanjeng Kyai Ageng Pemanahan, seperti di bawah ini:
1. Kanjeng Kyai Ageng Pamanahan, setelah menerima ganjaran tanah di Mataram, atas kehendak Kanjeng Sultan Hadiwijoyo di Pamanahan diberi nama Ki Ageng Mataram, ketika pindah ke Mataram tahun Alip 1531, windu Sancoyo, meninggal tahun Dal 1535. Jadi tinggal di negara Mataram selama 4 tahun. Ayahnya bernama Kanjeng Kyai Ageng Anis, yaitu putra dari Kanjeng Kyai Ageng Ngabdulrachman di Seselo, sedangkan ibunya bernama Roro Madinah, putri Pangeran Madepandan I, dari istri Kanjeng Ratu Mas Pamantingan.
2. Setelah Kanjeng Kyai Ageng Mataram wafat, digantikan oleh Kanjeng Sultan R. Sutowijoyo, menggantikan ayahnya di Mataram, bergelar Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panata Dinan, memerintah tahun Ehe 1540, windu Sancoyo.
Wafat pada tahun Wawu 1553, jadi memerintah selama 14 tahun. Ibunya bernama Rara Sabinah, putri Kyai Ageng Pakeringan dari istri Nyai Ageng Sungeb dari Wonosobo.
3. Kemudian digantikan oleh Kanjeng Susuhunan Hadi Hanyokrowati Senopati ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panata Dinan, seda Krapyak, diangkat pada tahun Wawu 1553, windu Hadi. Wafat pada tahun Jimawal 1565, windu Sengara. Jadi memerintah selama 12 tahun. Ibu dari Pati, putri Kyai Ageng Panjawi.
4. Putra yang menggantikan adalah Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Agung Prabu Anyakrakusumo Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panata Dinan. Naik tahta pada tahun Jimawal 1565, windu Sengara. Wafat pada tahun Jimakir 1578, windu Sancoyo. Jadi masa pemerintahannya selama 13 tahun. Ibunya adalah Kanjeng Ratu Hadi, putri KP Adipati Banowo dari Pajang.
5. Digantikan Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panata Dinan, yang dimakamkan di Tegalarum. Naik tahta pada tahun Jimakir 1578, windu Sancoyo. Wafat pada tahun Be 1600, jadi memerintah selama 22 tahun. Ibunya adalah Kanjeng Ratu Kulon putri dari Adipati Batang.
6. Kemudian digantikan oleh KP Adipati Puger, bergelar Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama utawi Paku Buwana I ing Kartasura. Naik tahta di Semarang pada tahun Jimawal 1629, windu Sengara. Wafat pada hari Rabu Kliwon 2 Rabingulakhir, tahun Ehe 1644, windu Hadi, jadi masa pemerintahannya selama 15 tahun. Ibunya adalah Kanjeng Ratu Kilen dari Kajoran, putri Pangeran Prabuwijoyo atau Panembahan Raden.
7. Digantikan oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ing Kartosura. Nak tahta pada hari Senin Kliwon 3 Rabingulakhir tahun Ehe 1644, windu Hadi wuku Kuruwelut. Wafat pada tahun Jimakir 1650, jadi bertahta selama 7 tahun. Ibunya adalah Kanjeng Ratu Paku Buwana, putri Pangeran Tumenggung Balitar.
8. Digantikan oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama ingkang ngadaton ing nagari Kartosura. Wiyosan pada hari Selasa Paing, 27 Sawal, tahun Alip 1638, wuku Sungsang, windu Sancoyo pada jam 10 siang. Jumeneng Nata pada hari Kamis Legi 17 Besar tahun Jimakir 1650, wuku Wugu, windu Hadi.
Pindah ke Kraton Surakarta Hadiningrat pada hari Rabu Paing 15 Suro tahun Je 1670, windu Sancoyo, wuku Landep, dengan sengkalan: Nir Sapta Rasaning Rat. Wafat pada hari Senin Paing 28 Besar tahun Jimakir 1674, wuku Langkir, windu Sancoyo, jadi memerintah selama 24 tahun, usianya 39 tahun. Ibunya adalah Kanjeng Ratu Kencono, putri Raden Adipati Tirtokusumo dari Kudus.
9. Digantikan oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana III Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama. Wiyos dalem pada hari Sabtu Wage, 26 Ruwah, tahun Be 1656, wuku Mondosiyo, windu Kuntara jam 11 siang. Jumeneng Nata pada hari Senin Wage 5 Suro tahun Alip 1675, wuku Mondosiyo, windu Hadi. Wafat pada hari Jumat Wage 25 Besar tahun Jimakir 1714, windu Hadi, jam 11 siang, bertahta selama 40 tahun, usianya 58 tahun 4 bulan. Ibunya adalah Kanjeng Ratu Mas, putri Kanjeng Susuhunan Amangkurat Jawa.
10. Digantikan oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IV Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama ing Surakarta Hadiningrat. Wiyosan dalem pada hari Kamis Wage, jam 10 tanggal 18 Rabingulakhir, tahun Je 1694, wuku Watugunung, windu Sengara. Jumeneng Nata pada hari Senin Paing 28 Besar tahun Jimakir 1714, wuku Kulawu, windu Hadi. Wafat pada hari Senin Paing jam 7.30 tanggal 23 Besar tahun Alip 1743, wuku Mrakeh, windu Kuncara. Jadi berthta selama 33 tahun, usianya 53 tahun 9 wulan. Ibunya bernama Kanjeng Ratu Kencono, putri Raden Tumenggung Wirorejo.
11. Digantikan oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana V Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama ing nagari Surakarta. Lahir pada hari Selasa Kliwon 5 Rabingulakhir tahun Dal 1711, wuku Tambir, windu Hadi, jam 1 siang.
Naik tahta pada hari Senin Wage 2 Suro tahun Ehe 1748, wuku Tambir, windu Kuncara. Wafat pada hari Jumat Kliwon, jam 3 siang, 28 Besar tahun Je 1750, wuku Madangkungan, windu Kuncara, bertahta selama 3 tahun, umurnya 39 tahun 9 wulan.
Ibunya adalah Bandoro Raden Ayu Adipati Anom, putri Raden Tumenggung Cokrodiningrat, Bupati Pamekasan.
12. Digantikan oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana VI Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama ing Surakarta.
Lahir pada hari Akad Wage, jam 2 siang tanggal 18 Sapar tahun Je 1734, wuku Warigalit, windu Sancoyo. Jumeneng pada hari Senin Kliwon 9 Suro tahun Dal 1751, wuku Wuye, windu Kuncara. Pergi ke Ambon pada hari Kamis Kliwon 18 Besar, tahun Jimawal 1757, wuku Langkir, windu Sengara.
Bertahta selama 7 tahun. Wafat pada hari Akad Pon jam 5 pagi, 12 Rejeb tahun Wawu 1777, wuku Mondosiyo, windu Hadi dalam usia 43 tahun 6 wulan. Bibinya Raden Ayu Sosrokusumo, putri Raden Tumenggung Cokrodipuro II.
13. Digantikan oleh Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IX, yang telah diuraikan di depan.
Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan ketika masih kecil.
Paku Buwana IX tokoh pembangunan tanah Jawa. Modernisasi berkembang di Karaton Surakarta Hadiningrat. Rakyat hidup makmur sejahtera. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja.
E. Emansipasi Wanita
Paku Buwana IX Tokoh Modernisasi Jawa. Semasa kepemimpinan Paku Buwana IX, keadaan kraton Kasunanan mengalami kemajuan yang pesat. Bangunan fisik kraton banyak yang direnovasi, seperti Sitihinggil, Panggung Sanggabuwana, dan lain lain sehingga ia juga terkenal dengan sebutan Sinuwun Bangun Kedaton (Mulyanto Utomo, dkk., 2004: 89). Modal tersedia berlimpah ruah.
Pengalaman selama 32 tahun sebelum menjadi raja, telah mengantarkan Sinuwun Paku Buwana X sebagai pribadi paripurna. Ilmu pengetahuan dan ketrampilannya telah cukup untuk memimpin kerajaan. Selama sinuwun memerintah, ia telah membangun Setinggil Kidul, mendirikannya di dalam kraton, seperti: pintu hijau utara dan selatan diganti namanya. Pintu sebelah utara diberi nama Wiworo Priyo, sedangkan sebelah selatan bernama Wiworo Kenyo. Tempat wayang Proboyoso ditinggikan dan diberi nama Sasono Parasdyo, pendapa Sasono Sewoko ditinggikan tratagnya melingkar, saka kayu diganti menjadi besi dengan atap seng, lantainya tegel.
Sasono Hondrowino juga dinaikkan, timur dan barat diberi tiang besi dengan atap seng, diberi nama Paningrat. Di depan Paningrat depannya Sasono Sewoko dibuat pendapa kecil berbentuk limasan atau topengan dan diberi nama Malige. Panggung Songgo Buwono di bawah dibesarkan, di sitinggil bangsal Witono diganti catnya. Pagar bata di di depan Bangsal Witono diganti dengan besi. Pohon beringin utara dan selatan, pagar tembok diganti pagar besi.
Setelah Patih KRA Sosrodiningrat III yang dimakamkan di Jabung berhenti, diganti oleh KRA Sosronagoro yang dimakamkan di Manang. Setelah berhenti diwakili oleh RMA Mangunkusumo, belum sampai diangkat sudah diberhentikan, diganti oleh RMT Purwodiningrat. Setelah ditetapkan menjadi patih diberi nama KRA Sosrodiningrat II dimakamkan di Pajimatan Imogiri.
Keadaan negara terlihat bertambah bagus dan sejahtera, jalan serta jembatan diperbaiki. Di sepanjang jalan di kota dipasangi lampu.
Petinggi Belanda yang mengurus pemerintahan berganti, pangkatnya Asisten Residen. Para abdi dalem polisi kabupaten juga berganti. Polisi desa pisah dari abdi dalem patuh di kabupatennya masing-masing. Sinuwun juga memberikan tanah miliknya kepada perkumpulan Sepoer Weg Matsekapy untuk digunakan sebagai jalan kereta api.
Sinuwun juga memerintahkan untuk membuat peraturan yang dinamai Buk Biru, yaitu peraturan mengenai keturunan abdi dalem yang meninggal dunia yang wajib menggantikan kedudukannya. Memperbaiki peraturan mengenai utang piutang, yang dinamai peraturan Siyamje.
Ketika patih diwakili RMT Mangunkusumo, peraturan peminjaman uang diubah, pengembaliannya melalui angsuran 1/3 dari penghasilan. Karena itu di kepatihan diadakan kantor pratigan. Setelah patih diganti oleh KRA Sosrodiningrat IV, keadaan pemerintahan negara semakin baik, mulai diadakan peraturan polisi onder distrik serta peraturan-peraturan lain yang sesuai dengan kemajuan jaman.
Stasiun Balapan dibangun pada hari Sabtu Legi tanggal 23 Sapar tahun Alip wuku Tolu 1795, dengan sengkalan: Margo Terusan Tumpakaning Janmo, atau 7 Juli 1866 dengan sengkalan: Tinoto Trus Sabdaning Nata.
Pemasangan batu pertama dilakukan oleh tuan Gupernur Jenderal Baron Sloet Vandebele bersama dengan Sinuwun Paku Buwana IX.
Pembangunan stasiun ini atas permintaan dari Nederland Indi Sepur-weg Maskape (NIS).
Stasiun Balapan dibangun untuk pemberhentian kereta api jurusan Semarang – Surakarta – Yogyakarta. Sepur weg Maskape minta tanah milik keraton untuk mendirikan stasiun dan pemasangan rel. Sinuwun bersedia memberikan tanah milik keraton karena dipandang hal itu akan memberikan manfaat bagi orang banyak dan bisa memajukan perdagangan di Surakarta. Pada masa Sinuwun Paku Buwana IX boleh dikatakan tanah Jawa sedang bersolek dan mengalami reformasi sosial (Krisnina Maharani, 2015 : 67). Catatan historis yang penting.
Sampai sekarang stasiun Balapan menjadi sarana penting untuk menuju Yogyakarta, Bandung, Purwokerto, Jakarta, Semarang, Malang, Kediri, Banyuwangi, Surabaya. Bahkan ada lagu yang terkenal, judulnya Stasiun Balapan, karya Didi Kempot. Warisan Paku Buwana IX lestari sepanjang masa.
F. Prameswar Paku Buwana IX
Paku Buwana IX Surud ing Kasedan Jati. Pada malam Senin Pahing jam setengah 4 pagi tanggal 4 Jumadilakir tahun Be wuku Wukir, akhir masa kawolu windu Kuntoro 1816, dengan sengkalan: Rasaning Panunggal Angesti Widi, atau 28 Februari 1887 dengan sengkalan: Pandito Ngesti Murti Tunggal, ibunda sinuwun, Kanjeng Ratu Ageng wafat pada usia 72 tahun 7 bulan 11 hari. Jenazah dikebumikan di astono pajimatan Imogiri dengan upacara kehormatan cara kraton. Kematian Ratu Ageng tersebut membuat sedih tak terkira. Apalagi selama hidupnya hanya bersama sang ibu.
Baru beberapa waktu kesedihan sinuwun surut, permaisuri sinuwun, Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana wafat, tepat pada hari Ahad Wage jam 9, tanggal 2 Rejeb tahun Je wuku Warigalit 1816 dengan sengkalan: Horeging Janmo Samadiyaning Puro, atau 27 Maret 1887, pada usia 39 tahun, 11 bulan 10 hari. Jadi hanya berjarak 27 hari dengan kematian ibunda, Kanjeng Ratu Ageng. Seketika di dalam kraton gempar, suara tangis bersahut-sahutan karena tidak mengira sama sekali. Kesedihan sinuwun tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Lantas Paku Buwana IX mengangkat R.Aj. Mandayaprana sebagai permaisuri dengan sebutan GKR. Maduretno. Beliau disebut juga Mas Lara Kuning (Bratadiningrat, 1990 : 92). Penyataan dan kenyataan berjalan selaras.
Pada malam meninggalnya permaisuri, harimau peliharaan sinuwun yang ada di dalam kandang mengaum-ngaum, paginya gajah betina yang bernama Nyai Achad lepas dari kandang dan berlarian di pamagangan, namun tidak membuat kerusakan. Kemudian bisa dijinakkan dan diikat kembali.
Setelah selesai merawat jenazah lalu berangkat dari kraton menuju astana Imogiri dengan penghormatan dan lampah ageng sesuai tata cara untuk permaisuri.
Sepeninggal permaisuri, sinuwun merasa sangat sedih, namun pada akhirnya ia menyadari bahwa segala sesuatu sudah ada yang mengatur, suka dan duka harus dijalani dengan penuh kepasrahan. Disaat hatinya sedang bersedih sinuwun menulis serat Sekar Macapat yang dinamai Gandrung Turida, dan semakin sering datang ke pesanggrahan Langenharjo untuk menghibur diri.
Setelah kesedihannya mereda, sinuwun mengangkat R Rarasati yang sebelumnya sudah diwisuda dengan nama R Ayu Adipati Mandayaprana II, diangkat menjadi permaisuri dengan nama KR Paku Buwana, pada hari Kamis Kliwon 18 Ruwah tahun Be wuku Langkir 1816, dengan sengkalan: Raosing Panyondro Angesti Garwo, atau 12 Mei 1887 dengan sengkalan: Manggung Ngesti Murtining Garwo. Kepergian orang tercinta sangat membekas di hati Sinuwun Kaping Sanga (Soemarsaid Moertono, 1985 : 72). Kebijakan raja yang tepat guna.
Pada hari Senin Legi, 5 Sawal tahun Be wuku Medangkungan 1816 dengan sengkalan: Obahing Patih Nayakaning Noto, atau 27 Juni 1887 dengan sengkalan: Swaraning Nayoko Hangesti Patih. Gubernur Jenderal Otto van Rees, datang ke Surakarta. Disambut dengan upacara kehormatan seperti biasa bila ada tamu Gubernur Jenderal. Selain menemui sinuwun, Gubernur Jendral meminta sinuwun untuk memberhentikan patihnya, KRA Sosronagoro, dan digantikan oleh RMT Mangunkusumo, abdi dalem bupati polisi di Klaten.
Sesuai dengan kebiasaan jika ada kekosongan posisi patih harus diisi dari abdidalem bupati nayoko, karena itu RMT Mangunkusumo lalu diangkat menjadi nayaka sewu.
Lain hari, setelah patih diberhentikan, RMT Mangunkusumo lalu diwisuda menjadi wakil patih, diberi gelar RMA Mangunkusumo pada hari Kamis Paing, tanggal 21 dulkaidah tahun Ehe 1816, dengan sengkalan: Hoyaging Janma Hangesti Patih.
Setelah 2,5 tahun RMA Mangunkusumo menjadi wakil patih, belum sampai ditetapkan sudah diberhentikan. Yang diinginkan menjadi wakil patih adalah RMT Purwodiningrat IV, abdi dalem nayaka kaparak tengen.
Perintah tersebut diberikan pada hari Senin Legi, tangagl 29 Rabingulakir tahun Alip 1189, dengan sengkalan: Margo Sanyoto Murtining Patih, hanya beberapa bulan setelah ditetapkan menjadi patih, lalu diberi nama dan gelar RA Sosrodiningrat IV. Gelar tersebut diberikan pada hari Senin Legi tanggal 9 bulan Suro tahun Ehe wuku Julung Punjut windu Sengoro 1820, dengan sengkalan: Luhur Nembah Sariraning Gusti, atau tanggal 25 Agustus 1891 dengan sengkalan: Nyoto Trusto Hesti Noto. Pada masa pemerintahan Paku Buwana IX ini pula disusun lembaga peradilan Pradata Surakarta (Rafli Lindaryadi, 2004 : 76). Sinuwun Bangun Kedhaton cermin pemimpin yang sukses gemilang.
Ketika peringatan jumenengan 32 tahun, pada hari Senin Legi 27 Jumadilakir tahun Je 1822 dengan sengkalan: Pakso Pambujo Hesti Narendra, serta peringatan hari kelahiran umur 64 tahun pada hari Rebo Kliwon, 7 Rejeb tahun Je 1822 dengan sengkalan: Sinembah Netyo Murti Noto, di kraton diadakan pesta dansa besar. Para abdi dalem berkumpul di alun-alun. Ketika itu Residen Surakarta bernama tuan OA Boernaboeletje.
Ia memberikan ucapan selamat atas peringatan hari jadi sinuwun yang ke-64, mendoakan keselamatan sinuwun dan seluruh keluarga, serta memuji keberhasilan sinuwun dalam mengatur negeri.
Bersamaan dengan bulan Ruwah, masih di tahun Je 1822 dengan sengkalan: Pakso Sikoro Hesti Narpati, sinuwun mulai merasa sakit sampai beberapa kali pertemuan tidak bisa hadir.
Semakin hari sakitnya semakin parah. Para putra terus menuggui dan mengira bahwa sakit sinuwun ini tidak semakin membaik.
Pada hari Selas Pon, 25 Ruwah tahun Je 1822 tuan residen mulai menunggui dan menginap di gedung Lojen, sekarang kantor Sasono Wilopo, serta gedung Nguntorosono.
Pada hari Kamis Kliwon tanggal 27 Ruwah jam 5 sore, terlihat ada cahaya yang menerangi di dalam kraton, lamanya kurang lebih 5 menit. Cahaya tersebut menghilang seperti amblas ke bawah. Orang-orang yang melihatnya hanya bisa tercenung diam saja tidak ada yang bicara.
Paginya, hari Jumat Legi 28 ruwah tahun Je wuku Mrakeh windu Sengoro 1822, dengan sengkalan Sami Nembah Murti Narpati atau 17 Maret 1893 dengan sengkalan Nolo Hanggotro Samadyo Tunggal, jam 7 pagi, sinuwun wafat pada usia 64 tahun 1 bulan 21 hari. Seketika suara tangis pecah di kraton, rasanya angin berhenti bertiup, tak ada dedaunan yang bergerak, seakan ikut merasakan kesedihan yang mendalam. Para abdi dalem kemudian melakukan kewajiban mereka masing-masing, bersiap-siap merawat jenazah sinuwun.
Setelah wafatnya sinuwun, kesedihan masih terasa terutama bagi para putra dan istri sinuwun. Semua merasa sangat kehilangan. Surat kabar Jawa, Melayu, Belanda, semua memberitakan mengenai wafatnya sinuwun menandakan turut berbela sungkawa serta mendoakan semoga yang ditinggalkan tetap tabah.
Ada pula yang menceritakan kisah sinuwun sejak menjadi KGP Hariyo Prabuwijoyo sampai meninggalnya, mengenai kebaikan-kebaikan serta banyaknya sahabat sinuwun. Berangkatnya jenazah siunwun ke astana Imogiri dengan upacara penghormatan dan lampah ageng sesuai dengan tata cara pemakaman seorang raja. Narendra gung binathara.
Sinuwun Paku Buwana IX amat terkenal karena daya mistis. Sunan Lawu dikenal sebagai kembaran Paku Buwana IX. Beliau jelmaan Prabu Brawijaya V. Narendra gung binathara, mbahu dhendha nyakrawati, ambeg adil para marta. Putra wayah menghayati dengan sepenuh hati.
Paguyuban Trah Paku Buwana IX mewarisi keagungan masa silam. Hari Minggu Kliwon, 13 Pebruari 2022 para ahli waris berkumpul. Keteladanan, kebijaksanaan, keluhuran dan kebajikan Sinuwun Bangun Kedhaton dilestarikan. Demi masa depan yang cemerlang. Karaton Surakarta Hadiningrat kuncara ngejayeng jagad raya.rel