Skandal Geng Topan di OTT KPK Bayang-Bayang “Geng Media Bapak” Coba Redam Berita Miring, Ganggu Kebebasan Pers di Sumut

Share:

 

Foto nya Ketua JMSI Sumut Rianto SH MH bersama Wakil Mentri Kominfodigi RI Nezar Patria.ist


Medan | Garda.id

Skandal proyek bernilai miliaran rupiah di Mandailing Natal (Madina) yang menyeret kelompok dikenal sebagai “Geng Topan”, OTT KPK ternyata hanyalah permukaan dari masalah yang lebih dalam dan gelap. Di balik pusaran kasus ini, muncul bayang-bayang kekuatan media bayangan yang mulai disebut oleh kalangan jurnalis sebagai “Geng Media Bapak”.


Kelompok ini bukan bagian dari media arus utama, bukan pula representasi resmi dari organisasi pers mana pun. Namun mereka bergerak seperti kekuatan informal yang mengklaim punya kuasa untuk mengatur arus informasi, bahkan hingga ke dalam dapur redaksi media lokal dan nasional.


“Judul berita diubah saja, jangan keras kali,” begitu bunyi narasi yang kerap terdengar di balik layar ketika ada berita yang dianggap ‘mengganggu’ kenyamanan elite tertentu. Kalimat itu bukan sekadar saran editorial, tetapi menjadi bentuk tekanan terselubung agar berita dimanipulasi demi melindungi pihak-pihak yang berkuasa.


Ironisnya, mereka menyebut diri bagian dari "Media Bapak", sebuah istilah yang semakin menimbulkan keresahan di kalangan wartawan resmi yang bekerja dengan mandat redaksi. Mereka mengklaim punya akses langsung ke lingkar kekuasaan, dan mulai membangun jaringan di dalam struktur pemerintahan provinsi.


“Banyak dari mereka bergerak dari Medan, lalu menyusup ke Sumut, bahkan ikut mengatur narasi pemberitaan di OPD dan kantor Gubernur,” ujar seorang jurnalis senior yang meminta namanya dirahasiakan karena alasan keamanan.


Gesekan dengan Wartawan Resmi


Gesekan tak terhindarkan. Di lapangan, mereka sering bertubrukan langsung dengan wartawan resmi yang ditugaskan untuk meliput aktivitas pemerintahan. Salah satunya terjadi di lingkungan Kantor Gubernur Sumatera Utara (Gubsu).


“Kami ini ditugasi secara resmi oleh pemimpin redaksi kami untuk meliput kegiatan di Kantor Gubsu. Tapi anehnya, sekarang harus berhadapan dengan orang-orang yang tiba-tiba muncul, mengaku-ngaku dari media besar, bahkan kadang menakut-nakuti OPD,” kata Zulkifli Harahap, Koordinator Wartawan di lingkungan Gubsu.


Lebih parah, mereka bahkan ikut mencampuri narasi pertanyaan dalam sesi jumpa pers dengan gubernur. “Kabarnya, nanti pertanyaannya sudah disetel. Ini kan membunuh kebebasan pers secara terang-terangan,” lanjut Zulkifli.


Teror Psikologis dan Manipulasi Narasi


Kelompok ini bukan hanya berupaya menekan media, mereka juga melakukan pendekatan ‘psikologis’ kepada para pejabat dengan menyamar sebagai pihak yang membawa solusi. Tapi niat di balik tawaran itu kerap sarat dengan kepentingan pribadi dan jaringan.


“Awalnya mereka datang seperti membawa solusi. Tapi ujung-ujungnya minta proyek, minta kerja sama, bahkan ikut mengatur pemberitaan,” ungkap salah satu sumber dari internal Pemprovsu.


Tekanan semakin terasa ketika mereka mulai merambah ke grup-grup wartawan, membangun narasi tandingan, hingga menyebarkan rasa takut dengan menyebut koneksi mereka sebagai “Media Bapak” – sebuah istilah yang masih misterius, namun cukup ampuh membuat banyak pejabat dan wartawan diam.


Organisasi Pers: Ini Ancaman Nyata


Beberapa organisasi pers di Sumatera Utara sudah mengendus keberadaan kelompok ini sejak awal 2024. Bahkan sempat ada pernyataan mengecam praktik intervensi mereka terhadap kebebasan pers. Namun, karena tak berbadan hukum resmi, gerakan mereka sulit dilacak secara formal.


“Ini ancaman nyata terhadap kebebasan pers. Kalau dibiarkan, media akan berubah jadi corong kekuasaan tanpa kontrol,” ujar salah satu pengurus organisasi pers tingkat provinsi.


Sayangnya, hingga kini, Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Sumut tak banyak berkomentar soal keberadaan kelompok ini. Di sisi lain, sejumlah wartawan berharap ada tindakan tegas dari pemangku kebijakan media untuk menertibkan fenomena "media bayangan" ini.


Menanti Sikap Tegas Pemerintah dan Persatuan Jurnalis


Kondisi ini menjadi ironi besar di tengah semangat reformasi dan keterbukaan informasi publik. Apa yang terjadi di Sumut bukan sekadar perang narasi, tapi perebutan kendali atas kebenaran.


Ketika wartawan resmi harus berjuang menyampaikan fakta, kelompok bayangan justru menebar ilusi demi melindungi kepentingan segelintir elite. Kini, publik menanti apakah pemerintah, organisasi pers, dan insan media bersedia bersatu melawan infiltrasi jahat ini.


Karena jika tidak, maka bukan hanya kebebasan pers yang dikorbankan, tetapi juga masa depan demokrasi lokal di Sumatera Utara.

Anto Genk __ Jurnalis Senior di Medan/Ketua JMSI Sumut

Share:
Komentar

Berita Terkini