KI PANUT DARMOKO DALANG PAKEM

Share:



Garda.id | KI PANUT DARMOKO DALANG PAKEM


Purwadi ketua LOKANTARA

Hp 0878 6440 4347


 1 . Guru Seni Pewayangan. 


Bagi masyarakat pedalangan nama Ki Panut Darmoko sungguh sangat familiar. Beliau memang seniman kawentar, misuwur dan kaloka. Mulai dari perkotaan, pedesaan dan pegunungan banyak yang mempunyai kesan dan rekaman tentang sejarah kehidupannya.


Ki Panut lahir pada tahun 1930. Dengan demikian beliau mengalami hidup tiga jaman, yaitu jaman Belanda, jaman Jepang dan jaman kemerdekaan. Sampai saat ini telah menyaksikan enam presiden Republik Indonesia. Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun 1966, Ki Panut pernah diundang untuk pentas wayang di istana negara. Semalam suntuk Presiden Soekarno kersa mirsani. Bahkan pada pagi harinya, Presiden Soekarno mengajak kembul bujana andrawina.


Pada tahun 1985 beliau tampil lagi di istana negara atas undangan Presiden Soeharto. Khalayak sudah tahu bahwa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto sangat ahli dalam budaya Jawa. Keduanya mampu memberi referensi, apresiasi dan refleksi atas seni pakeliran. Baik Bung Karno maupun Pak Harto, dua-duanya menjadikan tokoh-tokoh utama pewayangan sebagai kaca benggala ulat patrap pangucap, acuan dalam berpikir, berucap dan bertindak.


Dalang wayang purwa yang tampil di hadapan Presiden RI pasti sudah melalui seleksi yang amat ketat. Dari sisi kualifikasi, kontribusi, prestasi dan dedikasi tentu dinilai oleh tim panitia. Masyarakat dan pemerintah mengetahui kemampuan sang dalang dalam memberi pencerahan serta hiburan yang bermutu. Pengakuan formal informal tersebut yang membuat Presiden RI memberi anugerah kepada Ki Dalang untuk tampil di istana sebagai tanda kehormatan. Diharapkan sang dalang dalam berolah seni semakin waskitha dan wicaksana.


2. Kawruh Pedalangan


Kakek Ki Panut Darmoko bernama Ki Anggeg. Selama dua abad lamanya Ki Anggeg berhasil membangun dinasti pedalangan. Ki Anggeg berkesempatan menghirup mekar-mekaring kabudayan Jawi abad 19 dan abad 20. Puncak-puncak kebudayaan Jawa yang berpusat di Kraton Surakarta Hadiningrat mengalir deras ke seluruh pelosok relung-relung wilayah Jawa. Pujangga Jawa seperti Yasadipura, Ranggawarsita, Paku Buwana dan Mangkunegara kreatif dan produktif dalam berkarya cipta budaya. Pada tataran keluhuran dan keagungan, budaya Jawa mencapai status edi peni dan adi luhung. Edi peni berkaitan dengan puncak estetika atau keindahan. Adi luhung berkaitan dengan aspek kefilsafatan.


Demi nguri-uri kabudayan Jawi, Ki Anggeg membuat paheman atau perkumpulan yang beranggotakan penggemar seni budaya. Perkumpulan ini mirip padepokan mini. Padepokan Ki Anggeg merupakan pusat gladhen dan berlatih kesenian. Seni pedalangan, karawitan, kesusastraan, diolah bersama seniman sejawat, sehingga suasana di sekitarnya selalu regeng dan nggayeng. Tamu-tamunya hilir mudik, cantrik-cantriknya berdatangan untuk ngangsu kawruh undhaking seserepan.


Dua putra Ki Anggeg bernama Mudayat dan Mukadi. Kedua orang ini mampu mewarisi ketrampilan orang tuanya. Ki Mudayat dikenal sebagai dalang yang laris karena kualitas sanggitnya. Sedangkan Ki Mukadi dikenal sebagai dalang yang laris karena kualitas sabetannya.


Di samping mengkader putra-putranya, Ki Anggeg juga banyak mengorbitkan dalang mumpuni yang mau nyantrik padanya. Contohnya, Ki Darmo Gempon yang berdomisili di Duwel, Sukorejo, Rejoso, Nganjuk. Sampai tahun 1940-an Ki Darmo Gempon amat kondang sebagai dalang yang nyaring suaranya. Murid Ki Darmo Gempon bernama Ki Tarimin atau Ki Hardjo Soekondho. Beliau seorang dalang dan pengrawit mumpuni.


Ki Mudayat wafat tahun 1948, sementara calangan atau tanggapan pentas masih banyak. Beruntung sekali putranya yang bernama Panut Darmoko bersedia nyaur utang orang tuanya. Dalam usia 18 tahun rupanya sudah matang kualitas pedalangannya. Jauh sebelumnya, Panut kecil memang terbiasa ikut kakeknya ndalang. Kadang-kadang kakeknya memaksa Panut kecil untuk mucuki pentas. Usianya saat itu kira-kira 4 tahun. Penonton bersorak-sorai, tepuk tangan dan lega hatinya. Anak kecil bisa ndalang memang langka. Jadilah pentas dalang Panut kecil meriah dan lucu. Demikian pula, saat pamannya Ki Mukadi ndalang, Panut juga disuruh mucuki pada awal pentas. Sejak kecil bintang Panut selalu bersinar terang, berkat ketekunan dan kerja keras.


Tumuju marang kamulyan ora alus dalane, akeh sandhungane, gedhe godha rencanane. Ibarat wong lelayaran ing samudera agung, alun lan ombak dadi pepalange. Nanging sapa temen bakal tinemu, sing tekun bakal antuk teken wekasan tekan. Waton gembleng tekade, nyawiji pambudi dayane, linambaran tawakal.


Begitulah ajaran nenek moyangnya yang selalu dikutip oleh Ki Panut melalui wejangan Begawan Abiyasa di pertapaan Saptaharga. 


3. Ilmu Laku


Begitu tamat dari pendidikan tingkat SMP, Panut Darmoko lantas meneruskan studi di kota Surakarta. Tepatnya di Sekolah Konservatori, cikal bakal Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Sekolah Tinggi Seni Karawitan Indonesia, Institut Seni Indonesia. Mendalami ilmu pengetahuan di kota budaya ini berlangsung antara tahun 1950-1954. Empat tahun lamanya berkecimpung dalam pendidikan formal bidang kesenian.


Kesadaran untuk mengembangkan diri melalui pendidikan menunjukkan stratifikasi keluarganya. Kecuali mahir berkesenian, keluarga keturunan Ki Anggeg tetap mersudi kawruh, memetri ngelmi. Ki Panut sekeluarga tidak menjadikan seni semata-mata sebagai sarana ngupa boga, ngamen, mbarang atau aktivitas demi bayaran. Lebih dari itu seni merupakan elemen kehidupan yang dapat memperkaya jiwa serta membuat mutu hidup lebih baik. Kredo ini sesuai dengan ungkapa universal ‘dengan seni hidup menjadi lebih indah, dengan ilmu hidup menjadi lebih mudah, dengan agama hidup menjadi lebih terarah.’


Dalam bidang kesenian keluarga ini terbukti mewujudkan dinasti budaya yang terpandang. Dari generasi kakek yang diwakili Ki Anggeg, kemudian diteruskan oleh generasi bapak yang diwakili Ki Mudayat dan Ki Mukadi. Sedangkan generasi anak diwakili oleh Ki Panut Darmoko dan Ki Fc Pamudji. Harap diketahui adik Ki Panut yang bernama Ki Fc Pamudji adalah pengrawit terkenal spesialis penggender. Bila Ki Panut sedang ndalang, penggender-nya adalah Ki Pamuji. Kompak, serasi dan menggairahkan. Begitulah penampilan sang kakak dan sang adik.


Dunia pendidikan digeluti oleh dua insan bersaudara. Dua-duanya berprofesi sebagai guru. Sampai dengan tahun 1988 Pak Panut dan Pak Pamuji mengajar di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di Nganjuk. Antara tahun 1960-1980-an SPG merupakan sekolah yang populer di kalangan masyarakat pedesaan. SPG menjadi sarana efektif untuk melakukan mobilitas vertikal. Mengubah status anak petani menjadi pegawai negeri, menjadi idaman kebanyakan masyarakat desa. Lembaga pendidikan SPG menawarkan jalan mobilitas sosial bagi anak-anak petani.


Status pengajar di SPG menjadikan Ki Panut dan Ki Pamudji dikenal sampai pelosok pedesaan. Guru-guru SD di seluruh kabupaten Nganjuk pada umumnya bekas anak didiknya. Murid-murid ini pulalah yang juga termasuk reklame gratis bagi Pak Panut dan Pak Pamudji dalam pemasaran seni pedalangan. Orang tua murid merasa bangga jika sangggup mementaskan Ki Panut di rumahnya. Ki Panut menjelmakan diri sebagai ikon status sosial. Siapa saja yang dapat nanggap dalang Panut, maka akan terpandang. Ada pemeo ‘nanggap dalang Panut sama dengan tuku jeneng.’


Kenyataannya memang begitu. Antara tahun 1950-1980 jadwal pentas Ki Panut padat sekali. Tentu berbeda dengan dalang lokal lainnya. Para dalang cuma mengandalkan aspek ketrampilan seni, sementara Ki Panut didukung oleh posisinya sebagai guru utama di Nganjuk. Ditambah lagi dengan jaringan elit lokal dan nonlokal, seolah-olah nama Ki Panut sulit ditandingi hanya dengan kompetisi wantahan.


Istri Ki Panut sendiri juga bekerja sebagai guru. Berkat keteladanannya Bu Panut mencapai puncak karir sebagai Kepala Sekolah Dasar. Lengkap sduah keluarga Ki Panut yang mempelopori kemajuan pendidikan di Nganjuk. Keteladanan Ki Panut beserta istri ini menjadi inspirasi buat putra-putri beserta cucu-cucunya. Dari ekluarga pendidik ini mendorong mereka untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.


Pengaruh Ki Panut di hadapan para elit birokrasi, politik, pemerintahan di Nganjuk memang tinggi. Dr. Soetrisno, R., M.Si, Bupati Nganjuk periode 1993-2003 mengakui hal itu. Sebelum beliau bertugas menjalankan pemerintahan, terlebih dulu sowan Pak Panut untuk mohon doa restu. Beliau menghadap Pak Panut bersama dengan istrinya, Dra. Doni RH. Soetrisno, M.Si. Tidak cuma itu saja, Pak Tris juga mempromosikan Pak Panut untuk mendalang di UGM dan beberapa tempat di luar negeri.


Putra Ki Panut yang bernama Mas Tulus bisa mendalang, nabuh karawitan dan main musik modern. Sejak sekolah di SMP bakatnya sudah tampak. Pada suatu saat memang tampil. Masyarakat Nganjuk kelak Mas Tulus akan menerusklan darma bakti orang tuanya sebagai dalang tersohor. Kharisma Ki Panut yang tinggi semoga terwariskan pada putranya ini.


Dalam bidang agama, keluarga Ki Panut juga sangat memperhatikan. Di rumahnya terdapat sebuah mushola sebagai sarana peribadatan sehari-hari. Manjing sanggar Pamelengan, menjadi sarana untuk mendekatkan pada Gusti Allah SWT. Di sinilah manifestasi dari ungkapan agama ageming aji. Pada tahun 1984 Ki Panut menunaikan ibadah di tanah suci Mekkah. Lengkap sudah gelar beliau sebagai dalang Ki Haji Panut Darmoko.


4. Reriptan Edi Peni


Dunia kreatif juga dilampaui oleh keluarga Ki Panut Darmoko. Namanya Fc Pamudji. Orang Nganjuk lebih mengenal ketika tampil mendampingi Ki Panut saat ndalang. Bila sedang nggender, suara iramanya sangat halus dan teratur. Indahnya bukan main. Pas sekali mengiringi suara Ki Panut yang melengking cumlering. Ki Panut dan Ki Pamudji ibarat tumbu oleh kekep. Klop. Betul-betul mendatangkan suasana serasi dalam pentas pakeliran.


Di kalangan jurnalistik Jawa nama Fc Pamudji tidak asing lagi. Beliau kerap mengisi rubrik di Kalawarti berbahasa Jawa. Misalnya majalah Panyebar Semangat dan Jayabaya yang terbit di kota Surabaya. Cerita bersambungnya dimuat secara serial di majalah Jayabaya dengan judul Sumpahmu Sumpahku. Pembacanya penasaran terus, sehingga selalu menunggu kelanjutan cerita ini. Serial ini sudah dibukukan dan diterbitkan oleh Yayasan Sadang Nganjuk dengan kata pengantar Drs. Soetrisno R, Bupati Nganjuk. Kebetulan sang bupati amat cinta seni, budaya dan pendidikan.


Pengabdian Fc Pamudji selain di bidang kesenian, juga dalam bidang pendidikan. Bersama dengan sang kakak, Fc Pamudji sama-sama mengajar di SPG yang menelorkan banyak tenaga keguruan. Kegigihan Pak Pamudji mengantarkan dirinya mencapai puncak prestasi sebagai Guru Teladan Nasional. Beliau berhak dikirim ke negeri Jepang. Berikutnya beliau diangkat menjadi Kepala Sekolah SMA 3 Nganjuk. Sebuah jabatan yang menunjukkan kepercayaan atas segala dedikasi dan perjuangannya.


Pengetahuan Pamudji sungguh sangat luas. Hal ini bisa terbaca dari novelnya yang berjudul Mas Kumambang. Sebuah cerita yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal dan bersetting pada skop global. Pembaca diajak untuk mengarungi samudera kehidupan yang penuh warna-warni. Novel ini layak dijadikan bahan pengisi rohani. Sinambi kalaning nganggur, novel Mas Kumambang memang mengandung nuansa keemasan.


Energi plus yang dimiliki Pak Pamudji sebagian disalurkan lewat dunia komponis. Beliau mengarang aneka ragam lagu, contohnya Milangkori, Syair Srempegan dan Nganjuk Berseiman. Semuanya tentu mendukung daya tarik pentas pedalangan Ki Panut Darmoko, sebagai wujud darma marang kadang sepuh. Di bawah ini kita kutipkan gendhing ciptaan Ki Panut Darmoko.


Nganjuk Mranani


Kutha cilik sangisore Gunung Wilis


iku pantes dadi pecangkramaning pra turis


yo kanca ning Seduda ing perenging arga


lelumban lan byur-byuran


weh bagasing raga


rampung njajan nginep neng pesanggrahan


wis mesthi kepranan nyawang kaendahan


Jo lali jo keri kutha Nganjuk mranani


Iku dadi proyek kacukupan


 sandhang pangan


Ngocori sabin-sabin sakeloring kutha


Mesthi agawe pengin


 wong sing padha teka


sumur kompor ing ngendi-endi ana


Tandur-tandur subur mesthi


gawe makmur


Ja lali ja keri kutha Nganjuk ngenteni.


Kabudayan kesenian pancen nyata


Iku pantes dadi pikukuh


kapribadening bangsa


Kerawitan pedalangan beksa olahraga


Candhi Ngetos wis nyata


 peninggalan kuna


Pembangunan kuncara liyan praja


Rerengganing kutha wus sarwa tumata


Ja lali ja keri kutha


Nganjuk nggon seni.


Berseiman berseiman


Motto pamarintah


Kabupaten Nganjuk


Apa ta tegese


Apa ta maknane


Mengku kekarepan


Bersih sehat indah nyaman


Ber bersih lingkungane


Se sehat keluargane


Indah sesawangane


Tinata sarwa asri


Aman sajroning kutha


Sumrambah desa ngadesa


Yo kanca budi daya


Murih  suksese


Berseiman berseiman


Nganjuk berseiman


Sedangkan karya Ki Pamudji yang perlu diketahui di antaranya yaitu yang berjudul Milangkori:


Kutha Ponorogo Mas misuwur reyoge


Cak-cak Surabaya


ja lali mbarek ludruge


Ampun kesusu kondur


mirsanana sandur


Wayang topeng dalang saking Madura sampun kondhang


Njajah desa milang kori


nggoleki condhonging ati


Seni gambus misri Jombang


 gandrung Banyuwangi


Pandaan sendratarine


yen Nganjuk kondhang tandhake.


Kutha Bondowoso mas


 misuwur tapene,


Cak cak Surabaya ja lali rujak cingure,


Timbang bali nglentung


 wingka Babad luwung,


Mojokerto jipang


 wedang angsle asli Malang,


Njajah desa milang kori nggoleki condhonging ati,


Brem kutha Mediun kripik Trenggalek tamba gumun,


Kediri tahu takwane yen Nganjuk kondhang angine.


Syair lain karya Pamudji yang digunakan untuk mengiringi gendhing srempeg yaitu:


Ing saben jaman kupiyane nyata


Dadi prastawa anjunjung


drajating bangsa


Budi lan pakarti kang ndlarung sayekti


Wekasan nemahi lebur tanpa dadi


Kasrating wedha sura dira jayaningrat


Lebur dening tekap ulah darmastuti


5. Karang Padesan


Lukisan tentang karang padesan ini kita wakilkan pada tiga desa, yaitu desa Sidokare, Dhuwel dan Kedungombo. Desa Sidokare masuk kecamatan Rejoso. Dibanding dengan desa-desa lain, Sidokare secara ekonomis boleh dikatakan paling maju. Jalan-jalan protokol tampak rapi, bersih dan berhias indah. Rumah-rumah gedongan berjajar-jajar dengan pagar kokoh.


Telusur punya telusur, ternyata saka guru perekonomian desa Sidokare berpangkal dari bisnis brambang. Sejak tahun 1960-an warga Sidokare berkecimpung dalam jual beli brambang. Perdagangan brambang dengan jaringan yang amat luas mendatangkan kemakmuran. Uang berputar dengan deras. Banyak warga Sidokare yang tampil sebagai milyarder. Juragan-juragan brambang bisa menunjukkan sukses hidup. Tampak sekali gemerlapan. Untung sekali orang-orang kaya ini tetap saja bersandar pada tradisi, adat-istiadat dan budaya bangsa. Desa ini langganan nanggap dalang Panut.


Sebagian besar warna Sidokare percaya, bahwa nanggap Ki Panut bisa mendatangkan berkah. Rejekinya mbanyu mili. Jika bertani akan subur tanamannya. Bila bakulan akan laris dagangannya. Ditambah lagi, perasaan prestisius bila menampilkan dalang kondang.


Lain halnya dengan desa Dhuwel. Letaknya tunggal pager dengan Sidokare. Ada persaingan kultural di antara kedua desa ini. Hanya saja Dhuwel berkecimpung dengan tanah liat. Hampir semua penduduknya mengolah tanah liat menjadi genting, jun, kuali, dandang, cowek, layah, jambangan, genthong, dan benda pecah belah lainnya.


Desa yang tidak menggantungkan diri dari usaha pertanian biasanya punya surplus keuangan. Kelebihan ekonomi ini memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan estetika. Setiap punya hajat desa, sudah bisa dipastikan Ki Panut akan pentas di desa Dhuwel. Di sini pun tumbuh kepercayaan, nanggap Ki Panut bisa mendatangkan jeneng dan jenang, prestasi dan prestise.


Orang-orang desa Dhuwel, terutama para sesepuhnya akan bersemangat bercerita tentang figur Ki Panut. Dengan segala pengetahuan dan versinya, mereka seolah-olah bicara tentang idolanya. Buat mereka Panut adalah andheng-andheng jagad raya, penghias dunia yang membawa kesejukan, kedamaian dan ketentraman.


Sekarang kita bicarakan warga desa Kedungombo. Menurut kepercayaan banyak orang, tiap tahun desa Kedungombo harus nanggap Ki Panut Darmoko. Pada saat upacara nyadran atau bersih desa, tak boleh tidak, dalangnya mesti Pak Panut. Pelanggaran tradisi ini berisiko berat, sehingga akan mendatangkan marabahaya, musibah, balak, pageblug mayangkara. Oleh karena itu perlu dicegah dengan upacara tradisional.


Pernah warga Kedungombo tidak wayangan, dengan alasan masa paceklik. Penduduk tidak punya wragat. Biaya tidak mungkin ditarik dari penduduk. Fatal sekali akibatnya. Setiap ada orang sakit, paginya lantas meninggal. Esuk lara sore tekan ngajal. Pageblug tadi berlangsung terus. Rasa miris menyelimuti sekalian warga Kedungombo Loceret.


Pak Kamituwa kemudian mengundang warganya. Semua diajak musyawarah, merenung dan berpikir atas musibah yang sedang terjadi. Usut punya usut, salah seorang warganya mengusulkan supaya nanggap wayang. Karena selama setahun tidak wayangan. Namun semua juga mengakui bahwa keadaan tidak memungkinkan untuk urunan. Buat makan saja susah, apalagi mau pesta wayangan.


Demi kepentingan warganya, Pak Kamituwa Kedungombo sowan Ki Panut. Di sana terjadi sebuah kebijaksanaan hidup yang mengalir dari diri Ki Panut. Sebaiknya desa Kedungombo tetap wayangan, bagaimanapun situasinya. Soal biaya tak perlu dimasalahkan. Ki Panut sanggup ndalang semalam suntuk. Biayanya menunggu setelah keadaan ekonomi masyarakat membaik. Betul juga, semua pacoban reda dengan sendirinya. Rakyat Kedungombo hidup aman tenteram kembali.


6. Abdi Dalem Kraton


Masa pendidikan Ki Panut tahun 1950-an di Surakarta sungguh membekas dalam, baik dalam perkataan, pikiran dan perbuatan. Pusat kota Surakarta adalah Kraton yang dipimpin oleh Kanjeng Sri Susuhunan Paku Buwono XII. Lingkungan kehidupan bangsawan Jawa cukup memberi referensi buat pengembangan dan penampilan pedalangan.


Masyarakat menyebut Ki Panut sebagai dalang priyayi. Ciri-cirinya yaitu tenang, halus, hati-hati dan kalem. Praktek kehidupan sehari-hari maupun di atas panggung, Ki Panut senantiasa mencerminkan sikap kepriyayian. Gerak tubuh, tutur kata dan pola pikir ki dalang ini menjadi rujukan. Sesuai dengan namanya Ki Panut memang benar-benar layak untuk dijadikan sebagai panutan.


Jejer pertama sangat menentukan suskses tidaknya seorang dalang. Adegan Ngastina beserta degan janturan, suluk jugag, suluk ada-ada, antawacana dan bubaran manyura menyajikan keagungan dan keluhuran. Suasana tentram, wingit, syahdu, dan mengharukan mewarnai pagelaran wayang purwa. Para ahli pedalangan menyebut sebagai suasana mrabu. Jejering prabu Duryudana dan diiringi gendhing Ladrang Gleyong.


Hadirin pasti merasa adegan yang khidmat, agung, besar, mantap. Prabu Duryudana kondur angedhaton diiringi 2 emban abdi parekan. Patih, pengawal dan jenderal memberi hormat. Pertunjukkan agrom ngrembuyung yang mampu dihadirkan oleh Ki Panut. Para pengamat seni menyukai kehebatan pakeliran ini.


Kelebihan pakeliran kanarendran berbuah pada diri Ki Panut. Pada tahun 1997 Ki Panut Darmoko nampi dhawuh untuk ngruwat Kraton Surakarta Hadiningrat. Beliau mendapat tugas sangat berat meruwat Sri Susuhunan Paku Buwono XII beserta putra-putri dan menantunya. Pengabdian Ki Panut ini kemudian mendapat gelar kebesaran dari Kraton yaitu KRT Dwijo Hadinagoro.


Bentuk pengabdian kepada Kraton diwujudkan dengan sering sowan pada saat-saat ada hajad khusus. Misalnya jumenengan, Grebeg Mulud, Grebeg Besar, dan Grebeg Suro. Masyarakat umum tahu bahwa kepercayaan saat pisowanan ini akan mendapatkan barokah. Rasa andhap asor, tentram, damai dan pasrah sumarah. Beginilah ilmu laku yang diajarkan oleh budaya Jawa.


Rutinitas lain yang dipersembahkan Ki Panut kepada Kraton yaitu ngisis, ngupakara dan nguri-uri pusaka seni kraton. Pada hari Anggara kasih atau Selasa Kliwon Ki Panut datang ke Kraton untuk ngisis wayang Kyai Kadung. Wayang ini dianggap pusaka utama Kraton Surakarta. Pada jaman Orde Baru berkuasa, Presiden Soeharto pernah meminjam Kyai Kadung untuk dipentaskan di Istana Negara. Telah diketahui bersama bahwa selama kepemimpinannya Presiden Soeharto senantiasa mengumpulkan aura kekuasaan dengan jalan mistik.


Para penerima gelar dari Kraton Surakarta sebaiknya meniru keteladanan dan keikhlasan yang dicontohkan oleh Ki Panut. Beliau bekerja demi Kraton tanpa pamrih apa pun. Cukup keyakinan bahwa sikap legawa yang disertai kesungguhan budi akan memperlancar pakarti, pakerti dan pekerti. Sebuah rajutan peradaban yang sangat indah untuk diterapkan pada jaman sekarang yang penuh dengan gagasan materialistik. Boleh jadi inilah praktek dari pandangan hidup yang bersumber dari ajaran sugih tanpa bandha.


7. Pandhemen Budaya


Dasiyo adalah seorang petani desa yang cukup fanatik atas seni pedalangan. Di mana saja ada pentas wayang, dia berusaha untuk menonton. Khusus dengan gaya pentas Ki Panut, pandhemen wayang ini berkomentar sebagai berikut,


“Swarane dalang Panut senther-senther empuk. Yen dirungokake kepenak tenan. Aku seneng banget, sauger krungu, aku mesthi teka.”


Mbah Pardi pernah nanggap Ki Panut. Dia punya keyakinan bahwa anaknya akan sehat dan sembuh dari segala macam penyakit manakala Ki Panut pentas di rumahnya.


“Anakku Wagimin dadi waras wiris. Sak uwise dak tanggapake  dalang Panut, anakku lanang ora tau lara. Kabeh penyakit wis disuwuk Panut. Panut pancen turune dalang ruwat.”


Pak Kamituwo Warso, seorang penggemar fanatik berujar,


“Yen nyabetna wayang, dalang Panut ora obah salirane. Anteng meneng sugeng jeneng. Yen antawacana, suwarane wayang bisa silah siji lan sijine.”


Pak Paimin si tukang pijit punya penilaian demikian,


“Rumangsaku wayangane Pak Panut kok krasa agung, wibawa, ngrembuyung. Endahing jagad kukut dadi siji. Yen pinuju nonton, atiku dadi jenjem, ayem tentrem. Lali karo maneka warna kesusahan.”


Mbah Lamidjan, tukang golek petung dina, mempunyai kesan khusus,


“Swarane kolem, ngumandhang terang trewaca. Angel golek dalang kaya Panut. Aku nonton wiwit cilik. Amangka aku luwih tuwa. Dadi ngerti nalika Panut ndalang sepisanan.”


Penggemar pedalangan lainnya yaitu pak Ridjan, beliau punya catatan demikian,


“Suluke dalang Panut methit terus. Swarane cumlering. Yen mbanyol ora ngawaki, nanging lucu tenan. Guyonan mentes ora digawe-gawe. Tata basane jangkep, tata sastrane genep. Sing ndelok mesthi para kasepuhan sing ngerti wayang. Bocah cilik rada kabotan yen nonton pakeliran Panut. Sing nonton mesthi pinilih.”


8. Berguru Ilmu Pedalangan Gagrag Kraton


Pada awal abad 20 ada seorang dalang terkenal, mumpuni, disiplin dan tertib pada pakem. Beliau bernama Ki Pudjo Sumarto. Dalang ini menjadi kesayangan Sinuwun Paku Buwana X. Bahkan Ki Pudjo Sumarto pernah mengenyam pendidikan pedalangan di Kraton Surakarta.


Menurut pengakuan Ki Panut, sesungguhnya Ki Pudjo inilah yang menjadi idolanya. Cara bercerita, suluk, antawacana, janturan dan garap gendhing Ki Pudjo banyak ditiru oleh Ki Panut. Saat Ki Panut pentas di RRI Surakarta pada tahun 1950-an, banyak orang mengira yang sedang pentas itu adalah dalang Pudjo Sumarto. Maklum semua gaya Ki Pudjo banyak yang ditiru dalam pakeliran.


Murid Ki Pudjo yang melejit namanya adalah Ki Nartosabdo. Ketika masih berusia belasan tahun, Ki Nartosabdo yang masih bernama Sunarto merupakan niyaga pengrawit. Ke mana saja Ki Pudjo ndalang, pengendangnya adalah Sunarto. Sambil menjadi pengiring karawitan, Sunarto belajar padalangan. Lambat laun cara mendalang ki Pudjo dapat dikuasai sehingga pada masa dewasanya Sunarto berdikari menjadi seniman dalang.


Dapat disebutkan bahwa antara Ki Panut dan Ki Narto adalah kader tulen Ki Pudjo Sumarto. Tak mengherankan bila gagrag pewayangan kedua dalang ini boleh dikatakan sangat mirip. Kebetulan ada dua seniman handal ini dalam sehari-hari bersahabat karib. Ki Nartosabdo pernah dimintai tolong untuk ndalang di rumah Ki Panut. Sedangkan Ki Nartosabdo juga pernah diminta Ki Panut mendalang di Semarang. Persaudaraan dalang tunggal guru sungguh menakjubkan. Mereka berdua kerap naik becak keliling kota Semarang.


Dalang sepuh yang menjadi rujukan Ki Panut lainnya yaitu Ki Warseno Wonogiri. Pak Panut sebagai dalang yang lebih junior kerap sowan. Ki Warseno adalah dalang dengan spesialisis Ramayana. Bila memegang tokoh kera, seolah-olah hidup betul. Tangannya cekatan dan terampil. Pertunjukannya gegap gempita. Ki Panut sungguh terkejut ketika Mbah Warsena surud ing kasedan jati. Sementara beliau tidak tahu saat kematiannya. Berita duka ini datang terlambat.


Untuk dalang yang lebih junior dapat disebut di sini, Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Sudarsono. Dua dalang ini tersohor sejak tahun 1970-an. Publik tahu bahwa dua dalang ini sempat menjadi selebritis pedalangan. Kalau Ki Anom Suroto dikagumi karena kualitas suaranya, sedang Ki Manteb Sudarsono dikagumi karena kualitas sabetannya.


Dalam suatu acara pagelaran, Ki Anom Suroto dengan terang-terangan menyebut Ki Panut Darmoko sebagai gurunya. Perkataan ini bukan basa-basi. Semasa Ki Anom masih kanak-kanak memang pernah menonton pagelaran Ki Panut di Surakarta. Tak mustahil bila Anom Suroto pun nyecep ilmu pada Ki Panut Darmoko.


Ki Manteb Sudarsono secara khusus pernah caos pangalembana pada Ki Panut,


“Ki Panut menika saestu dalang ingkang edi peni. Tanpa dipun wuwuh prenesan, cak-cakaning pakeliran sampun kraos miraos. Wiwit saking wiwitan angantos tancep kayon, wayanganipun Ki Panut tetep ajeg.”


Tukar kawruh antar dalang memang sebuah keharusan. Maksudnya supaya terjadi dinamika dan kemajuan. Aliran-aliran yang dianut masing-masing dalang pasti berbeda. Toleransi dan saling pengertian mutlak diperlukan. Untuk itu Ki Panut tak segan-segan menjalin persahabatan dengan tokoh gagrag pedalangan lainnya. Persahabatan yang erat dilakukan dengan Ki Timbul Hadiprayitno. Beliau adalah tokoh dalang terkemuka gagrag Yogyakarta. Hubungan dua insan ini sangat erat seperti saudara.


Seangkatan dengan Ki Panut ada dalang-dalang lokal lain yang menorehkan prestasi. Di antaranya adalah Ki Suwadji, Ki Hardjunadi, Ki Kardjo, Ki Samidjan Kondho Prasojo, Ki Hardjo Besar, Ki Suprapto. Ada dua Suwadji, yaitu Suwadji Gadung dan Suwadji Kedungdandang. Dulu mereka merupakan pengrawit ki Panut. Beliau sebagai penabuh kenong. Sedang Ki Hardjunadi penabuh slenthem.


Generasi dalang yang jauh lebih muda adalah Ki Joko Suwani, Ki Joko Bledheg, Ki Suyitno, Ki Anom Hartono, Ki Mudho Suroto, Ki Ali, Ki Mintorogo. Secara langsung atau tidak, mereka semua pernah berguru kepada Ki Panut. Di mata dalang-dalang muda tersebut, Ki Panut adalah sesepuh, pepudhen dan referensi utama dalam pengembangan seni pedalangan, yang tergabung dalam Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia). Kini boleh dikatakan Ki Panut Darmoko merupakan dalang yang paling senior. Oleh karenanya di kalangan para dalang beliau dianggap sebagai sesepuh.


9. Tuntunan Pakem Pedalangan


a. Caking Pakeliran


Caking pakeliran wayang purwa sawengi natas mengku surasa kang jero karepe, jembar wawasane, lan maneka warna ancek-ancekane. Yen gelem nggatekake siji lan sijine kang gumelar ing panggung, sapa wae bakal entuk wosing panggagas. Kasebut seni adi luhung, amarga ing nyatane pagelaran wayang purwa iku duwe bumbu sing jangkep, genep lan genah.


Coba saiki diteliti siji baka siji, sing ana gandheng cenenge karo olah gelaring seni.


Seni sungging, dumadi saka paragane wayang sing ditatah, diukir lan digambar. Saben wayang winangun watak lan wanei, ndadekake rasa resep ing pandulu kang mbabar kaendahan. Saka wandaning wayang bisa ketitik endi kang duwe sifat sabar sareh lan endi kang kasar brangasan.


Seni Joged


Seni joged utawa tari mapan ing solah kridhaning wayang, meh saben adegan, gampang banget nemoni olah jogeding wayang. Mung wae, jogede wayang uga dijumbuhake karo watak lan wandane. Jogede budhalan prajurit racak kanthi gerak serang, tenanan lan tumemen. Kiprahe pragota utawa Dursasana mesthi sigrak kairing guyu lakak-lakak. Lakune bagong kagawa lucu sing marakke wetune guyu. Werkudara njoged ing pungkasane pakeliran katon yen wibawa. Semono uga salah bawane raseksa, diajab bisa sora seru lan nggegirisi.


Seni Swara


Wiwit gamelan ditabuh, swarane Nyai waranggana ngumandhang ngebaki awang-awang. Ingiring para juru genong, kapyarsa yen peni banget suwasanane. Apameneh yen sang dhalang wus lenggah ing panggung, tumuli pagelaran diwiwiti. Suluk kang gandem, marem, gawe jenak lan penak. Kajaba kuwi uga bisa kanggo titikan, wis tekan ngendi lakone. Karana sulukan iku dadi tandha jejer lan adegan miturut pakem kang wus pinathok, swara suluk mesthi bisa gawe swasana seneng lan sedhih.  


Seni Sandiwara


Crita utawa lakone wayang genah yen mempu karo aluring sandiwara. Tegese ana mula bukane bab sawijining perkara. Gancange rembug perkara mau mesthi nuwuhake kerukunan lan regejegan. Kawisbara banget yen kang dhemen pamlayan ananing mung ngisruh. Wandene sing seneng marang karaharjan, sing diupadaya murih tentreming bebrayan. Satemah loro-loroning padha rebut bener. Loro-loroning padha golek bala dhewe-dhewe, supaya menang, manehe warna pambudi dayane. Ana sing laku cidra, ana sing mbegal ing tengah dalan, ana sing adu-adu. Embuh ora idhep, sing penting unggul jurite. Kosok balen ana sing laku tanpa brata, gentus semedi, gandrang megaru lan olah kabecikan. Pungkasane lelakon, sing bener berlenger, sing salah seleh. Dadi wosing gati ing babaran lelakon ngemu piwulang. Sandiwara, tegese piwulang kan sinaudi. Supaya kecekel karepe, mula kudu diwawas kanthi premati.


Seni Sastra


Tembang sastra iku mewujudake wedharing gagasan mawa tetembungan kang pinilih. Jalaran basa sing dienggo arang ditemoni ing saben dinan. Ing pedhalangan babagan sastra dipersudi banget. Bobote crita dhalang yen diwedhar nganggo tembung kawi, sing dipercaya ngemot endahing kamiastrian kang dhuwur. Hambok menawa asring keprungu yen basa pedhalangan iku rada angel dimangerteni dening sadangah pawongan. Ukara mau pancen bener. Amarga nyatane sing bisa nggreba tegese tembung kawi lumrahe para sepuh atawa priyayi sing pinunjul kawruhi. Mula kudu sinau dhisik, supaya gancar anggone nyurasa basa pewayangan. Luhure kagunan seni pedhalangan sayekti sabab disengkuyung deni endahe tembung karusastran. Dhalang sing bangkit ngrakit tembung kawi, ngumpaka purwakanthi umume digandrungi caritane. Para miyarta lan pamiyarsa sewengi mbethethet ora obah saka papan palenggahane.


Seni Gendhing


Yen katandhing karo iringan gamelan liyane, genah yen pagelaran wayang purwa iku pepak dhewe. Wiwit saka pathet nem, pathet sanga lan pathet manyura katata miturut golongane laras slendro. Wondene yen nganggo laras pelog mesthi kawiwitan saka pathet nem, pathet lima nganti pathet barang. Golongan laras lan pathet mau ana pathuhane dhewe-dhewe. Saking njlimet gendhing mau 1 mula ora angger wiyaga wani ngiringi pagelaran wayang. Waris lan orane penabuh gamelan glumpang titikahe. Waliha wani ngiringi gamelan wayang purwa kanthi patitis genah yen wiyaga mau bangkit lan sembada. Awit ngiringi pagelaranwayang uga mbutahake rasa, nut laku lan lakoning pakeliran.


Rombongan Ki Dhalang Panut Darmoko wus sumadya ngayahi pakaryan. Wiyagane ngrasuk busana, kejawen pepek. Blangkon, beskap, nyamping bebedan kang rinengga wangkingan. Elok tenan nggumunake. Kabeh wiyagana cacah rong puluh. Kalakonen dhalang kondhang, mesthi wae nggawa rombongan sing genep. Ki Panut Darmoko yen wis ngayahi jijibahan ora tanggung-tanggung. Sakbisa bisane kudu sarwa tumata. Sakdurunge wiwiti karya, kabeh bawahane diajak rembugkan luwih dhisik. Kereben caking gawe bisa rancah. Aja nganti gawe kuciwa sing nanggap.


Dene waranggana kang kedhapuk ing wengi kuwi cacahe ana telu. Sing loro katon baut nggone makarya minangka dadi sindhen, sing siji pancen isih tataran pasinaon. Lumrahe kasebut sindhen blajaran. Kanthi cara magang mangkono mau suwene-suwe banjur wasis. Tartamtu wae upeke uga beda. Akeh-akeh sindhen blajaran mau digawa dening ibu sindhen sing wis peng-pengan. Karo sinau sabanjure uga ngecake piwulangane. Mula babagan upah mau genah yen ora dadi kawigaten. Sing penting oleh panggung kanggo gladhen.


Swarane waranggana telu terus ngumandhang bareng lan karawitan. Gendhing patalon kang dadi ater-atering pagelaran angrangin weh reseping ati. Lamat-lamat mrabawani. Tabuhane ora banter ora rikat. Trep lan patitis tenan. Pratandha yen rombongane Ki Panut Darmoko kerep latihan yen pinju ora tanggapan. Miturut gatek, senadyan ora tanggapan, yen wiyagan lan warangganone lagi latihan, Ki Panut Darmoko tetap paring dana. Ing pangajak supaya padha sengkut gumengut anggone nabuh lan nyuwara.


Watara jam sanga bengi, Ki Panut sigra munggah panggung. Kabeh sing padha nonton migatekake saben netra tumuju marang panjenengane. Kaya-kayaa jagad iku kagungane Ki Panut Darmoko. Kudu diakoni dhalang siji iki kawentar. Kawentar baguse, pintere lan srawunge. Aba wis neng panggung, kawistara yen pamriyane mencorong kebah pangaribawa. Kulite kuning resik, busana sing diagem jumbuh karo dedeg piyadege.


Kathah didhodhog kaping lima weh sarmita pagelaran diwiwiti. Gendhing ayah-ayak ngiringi kayon kang kabedhal. Tumuhi ayandhak ladrang kabor. Dhodhokane bener lan pener. Sulukane kang gandan lan marem ora keri. Sindhenan anut cengkoke ki dhalang. Wiyagane tumata lan tumitis, kaya-kayaa teluk karo abene dhalang. Ketelune wus manunggal, bantu binantu banjur mbabar kaendhan.


Jejer Ngastina murwakani. Prabu Duryudna didherekake emban sakembaran. Nuli nampa pisowanan Patih Harja Sengkuni, kang kapernah paman dening sang nata. Tan kalepyan lenggahe Dhang Hyang Durna ing sukalima. Sang patih lan sang pujanggah pinarak jejer. Ing sisihe lenggah Adipati Karna ing ngawangga, kang misuwur minangka senapati agung. Kang manggon ing wuri dhewe yaitu kadang kinasih sang nata, aran Raden Kartamerna.


Parewakan ing Praja Ngastina kena diarani nyenengake mungguhe para penonton. Apa ta sebabe? Kaya sing uwis-uwis, saben jejer ngentina, sing digagas mesthi panguwasa. Prabu Duryudana sakadang Kurawa piye bisane tetep ngregum negara Ngastina. Mula sebisa-bisane, Pedhawa kudu lena. Sebanjure penonton banjur gumreget lan uga bisa gregeten. Hambok menawa regejegan panguwasa ing Ngestina mau keplaleh dadi kaca benggala ing jaman apa wae. Angger rebutan panguwasa, sing ngrebut migunakake maneka warna cara. Sanadyan kudu merah wewalu lan bebener.


Para pamiyarsa ing sajabane pakeliran padha nilempake karna. Palataran jembar kebak penonton. Saperangan akeh sing padha nggelar klasa, lungguh lesehan. Bek andher rebut dhucung golek papan sing kepenak. Cilik gedhe anom tuwa emoh keri, supaya panggonane ora hageser dening liyan, mula lungguhe ora mingset. Kejaba amarga perlu banget. Upamane silak turas. Utawa yen ana bocah cilik arep pipis. Panggonane lungguh mesthi dipasrahake kanca kiwa tengene. Karepe yen rampung arep bali marang panggonan sakawit.


Antawacana antara siji lan sijine cetha banget bedane. Watak wantune wayang gampang anggone niteni. Prabu Duryudana kanthi sarira gung ngaluan, swara gedhe gandem marem, nanging miyar-miyur panemu. Ora duwe adeg-adeg. Mula kabeh dhawuh pangandikane angel dicekel. Saben kagungan kersa, gampang dipaeka lan diojok-ojoki dening ingkang paman ing kepatihan. Eman banget ingatase narendra binathara mbaku dhendha nyakrawati, danging ora angleggahi ber budi bawa laksana.


Dene patih Harya Sengkuni tetep licik, julika lan pik penahe dhewe. Angger omong swarane mesthi plero, amipang bejang. Ditambahi manih tembunge nggatel ati yen dirungu ing kuping, sakbadyan makarsi Durna caos pepeling ing babagan bebener, sang patih tetep ngeyel. Harya Sengkuni biyen mula pinter bantah. Saktiba wetune tembung bisa war ngalahake sing diajak rembugan. Kanggone patih Sengkuni, wawan sabala iku sing penting menang lan nguntungke. Ora perlu gawe rugi mungguhing liyan.


Beda karo sang apatih, watak wantune adipati Karna kang wus sinengkahake ngaluhur pimenang senapti agung. Ing ngendi papan paheman, adipati ngawangga tamah gawe mandhep mantepe Prabu Duryudana. Mula ing Ngastina, Adipati Karna dadi gul-agul gegedhuke wadya bala. Menawa lagi ngendikan, swarane sang Senapti cemlering, bagas, tegas, pengkuh, kukuh. Pinghese ucap, patrap lan pangucap sarwa mentes. Kena diarani tangan tenggene Prabu Duryudana.


Eloke kahanan kadang sentana kang cinaket sang nata, jenenge Raden Kartamarma, babar pisan ora nate cenuwit sakjroning pacewakan. Minangka pendherek lumrah yen ora dikeparengake saru wuwus. Jejering pengawal jejibahane amung angreka yuwanane narendra kang jumeneng. Embuh bener embuh luput, pengawal ora pareng nggagas. Angger sing dikawal slamet, tegese pakaryane becik.


Jejer Ngastina ora pepak yen Pendhita Durna ora miyos. Lenggahe kepara nyata ledhah karo Rekyana patih Sengkuni. Ing parewahan agung priyayi sepuh sakloro mau kerep gojek, guyon maton, gawe suwasana gerr, glenyengan, sagah padha suha rena kang nyarsi. Pendhapa Ngastina saknalika dadi seger sumrigah.


Bubare pasewakan den uringi ladrang gleyong. Tindake prabu Duryudana kawistene agung merbawani. Jangkahe sang prabu nut wiramane gendhing kang lagi seba, siji mbaka siji ninggalake sitihinggil. Ora lali, saben linggar saka palenggahan mesthi arta tunuli nyembah ing dhampar kencana.


Sang narendra kondur angedhaton sigra pinapak dening garwa prameswari. Raja putri Mandaraka, atmajane Prabu Salyapati, kang luharis Dewi Banowati kondhang kaloka ayune. Dhasar sulistya ing warna karengga ing busana. Saya melok-melok wadanane, leladi marang Prabu Duryudana nimangga garwa prameswari kang banget ditresnani. Ketilik Prabu Duryudana ora keren mundhut selir. Cukup diladeni Banowati wae.


Adegan kedhatonan disambung embok emban sakloron, Limbuk lan Cangik. Emban loro iku diantu-antu dening penonton. Gojeg guyon maton sinawun ing gendhing gegendhingan, sindhen sesendhoran. Antara dhalang, wiyaga, wiranggana luluh dadi siji, supaya caking pakeliran tambah gayeng. Sing nanggap kerep kasebut dening si dhalang, kareben kepranan ing galih. Akeh-akeh pangalembanane Cangik lumbuk sing katujokake marang sing kagungan dalem. Lelagon sing di kersaake para miyarsa disembadani dening dhlang. Kahanan saya suk parisuka.


Banjur emban Cangik Limbuh kadhapuk samadya. Tegese sakcukupe was. Ora ringkes nanging uga ora kedawan. Ing pangangkah supaya ora njuwarehi. Penonton ora bosen, semono uga anggone ndagel direkadaya amrih ora wagu lan saru. Luwih-luwih ulat, patrap lan pangucap mesthi ngreksa penggalihane liyan. Guguyonan sing bisa natoni ati kudu disingkiri. Mula kabeh uga napa banyolane ki dhalang.


Kabedhole Limbuk Cangik disusul adegan ing sanggar pamelangan. Ada-ada lan dhedhongan kang diiringi gender sing rada sereng gawe suasana tentrem. Kaya-kaya penonton diajak bareng semedi. Titi satataning panembah jati wis sumebar ing sadhengah papan. Keplalah kena diarani tumancep ing tileging sanubari wong Jowo. Keariye carane nyedhak marang sing gawe urip, wus pinenggalih lumantar janturan ing sanggar pamelengan.


Wosing gati tumuli ganti kang cinarita. Ing pauban Jawi Patih Harya Sangkuni nggawe sanggyane para sata Kurawa. Dursasana, Durmagati, Citraksa Citraksi, Kartamarma, Jayadrata lan wadyabala Ngastina njejel riyel rebut dhukung nunggu dhawuh timbalaning sang Patih. Rame, seru, sigrak lan ndemenakake. Pauban Jawi kaya urip-uripa. Gayane Dursasana katon yen aweh swasana kang seger sumyah suka gembira.


Sang Rekyana Patih banjur njlentrehake pratelan wosing gati kang wus dirembug sajroning parewahan ing sitihinggil. Terang trewaca dhawuhe sang Nata lumantar Patih Sangkuni. Wadya bala sigra sikep gegaman. Minangka cucuking wadya kapateh satriya ing Tirta Tinatang. Raden Jayadreta. Budhale wadya bala gumuruh mawurakar. Wiwit jejer ing sitihinggil, kedhatonan, pareban Jawi nganti budhalan, penonton sing padha lenggahan ing klasa sasat ora ana sing mingket. Sakwuse disambung jejer sabrang, saperangan penonton ana sing ninggalake papan palungguhane. Ana sing wedangan, ana sing ngersakake dhahar sega pecel. Saperangan ana sing mung udud sinambi jagongan karo kancane. Bakul-bakul padha kelarisan. Wiwit sore sing tuku pancen rame banget.


Wondene kang lenggahan ing pendhapa Kamituwa, papane adu arep karo kelir. Kang ditontong mung ayang-ayange wayang. Dhalang, wiyaga, warenggana lan gamelan ora ketok. Racake sing lenggah ing pendhopo wau para kasepuhan. Suguhane mbanyu mili. Kopi, teh lan banyu putih anget wus sumadya. Pak Bejo, Pak Dhasar lan Pak Sukijo kapatah dadi juru leladi utawa lumrah disebut pladen ngarep. Sing lenggahan ing pawon dumadi saka ibu-ibu. Umume digilir saben tahun. Amarga upacara nyadran iku dadi gaweane wong sakdesa. Para kasepuhan kang lenggah ing pendhapa mau mesthi lek-lekan nganti wayah esuk, critane dhalang kang ngemu surasa piwulang luhur digatekake temenan, Janturan ing Pertapan Saptaharga upamane, dadi kawigaten banget. Hambak menawa ulah kajiwan ing pakelaran mau keplok karo penggalihe para sepuh. Priyayi kang wus yuswa sepuk karem banget ing olah rasa.


Bocah-bocah cilik padha klekaran ing sakdhuwure klasa kang gumelar. Jamak lumrahe yen nendheng nonton wayang, bocah-bocah cilik mau senengane adegan sing sigrak, rame, seru, banter lan ger-geran. Contone wae nalika adegan budhalan wadya bala, gamelane ditambuh kanthi seru, mawa gendhing laularan Tropongbang, jogede wayang gumreget banget. <uwih-luwih yen pinuju Dursasana kiprah, kabeh penonton kaya-kaya diajak ngobahake awak.


Mripat sing isih kriyip-kriyip ngantuk, mak cekekal dadi amba. Unine gamelan jumbuh karo kridhane wayang. Nyenengake banget. Bocah sing lagi glethakan tumuli tangi saperengan ana sing ngucek ucek mripate nganggo bahune. Ana sameneh sing kalung sarung. Diseblakake kanggo slendhang. Kiprahe Dursasana ditiru. Wah, senengane bocah pancen sing gampang dirasakake panca indra.


“Myat ngalenging kalangan Aglar pandam muncar.....”


Suluhe ki dhalang aweh pratandha ganti adegan sing maune jejer sigrak, saiki salin dadi jejer kang alus, eneng lan ening.


“Hua .......” Lesane Mas Mintaraga wiwit angop maneh. Mas Mintaraga iku senadyan wis tuwa, nanging temen kumpul karo bocah cilik. Embuh apa sebabe bab kareman wae uga padha. Dheweke kurang pati cocok karo pagelaran wayang sing nontonake adegan alus. Angger ganti adegan sing tentrem, mripate ngriyip maneh. Alon-alon sirahe nggoleki papan kang jenak.


 Turu maneh. Angler. Sing nggumunake, pas adegan gara-gara nuli mak jenggerat tangi maneh. Ki dhalang sangsaya gumreget anggone makarya. Trampile ngobahake wayang ketitik pinuju olah sabet. Solah kridhane wayang urip banget. 


Luwih luwih wektu adegan perang. Wayang siji lan sijine hathatua bagas, rikat, trengginas kaya tenan tenanan jurus jurus silat dicakake sajroning pakeliran. Antarane prajurit jotos jinotos. Bandayude ing paprangan kawistara yen rame nggegirisi.


Penonton sasat kami tenggengen, gumun ngungua ndulu ketrampilane ki dhalang. Bocah bocah ora ono sing ngantuk. Keprah lan dhodhogan wos suk karo swaraning tambur. Iramane gamelan rinengga kumandhanging warsanggana, ndadekake adegan perang mau nyata nyata merak ati.


Sawetara perang bandayuda banjur sinegeg. Kasambet adegan gara-gara, ing Karang Kadhempel Kyai Lurah Semar diadhep dening anake tetelu, Gareng, Petruk lan Bagong. Panakawan catur mau padha dene gegojegan guyon maton. Para penonton akeh sing kepingkel-pingkel guyune. Banyolane dhalang trep karo swasana. Maneka warna lelagon ngumandhang ing madyane ratri.


Ora sedhela, ora suwe. Tegese wektune sedheng wae. Acara  adegan gara-gara iku aja nganti njuwareki. Yen kesuwen penontone dadi bosen. Sakdurunge kewaregen, mula tumuli disigeg. Ganti adegan perang kembang. Buka gendir penjalin slumawan satriya. Dikeroyok buta akeh, ing pungkasan satriya kang tetep unggul jurite.


Saksirepe perang kembang banjur adegan pathet manyura wasing carita mapan ing kene. Misuwure dhalang anggone ngolah carita diuji ing adegan pathet manyura. Penonton bisa trenyuh, malah nganti bisa tumetes luka. Wangis mbrebes mili, kuwi mau yen dhalang bisa nyuguhake adegan kang ngiris ati. Ing pungkasane lakon, sapa salah bakal seleh. Mula penonton uga jumurung, amerga pikantuk tuntunan. Pawulang becik kanggo sangu urip.


Beksane Werkudara utawa sinebut Tayuhan sawise perang brubuh, tandha yen caking pakeliran paripurna.


 Kasambung ayak-ayakan pamungkas. Ing sadalan-dalan penonton isih kelingan lelakon kang lagi wae kababar. Karo kanca-kancane padha ngudhar gagasan, bawa rasa. Bener tenan ujaring para sepuh, sing becik ketitik sing ala ketara. Kabeh mau minangka dadi srana mbangun kapribaden sarta piwulanging ngaurip. Meh rahina semu bang haruna kadi netyaning.rel

Share:
Komentar

Berita Terkini