Saatnya Wartawan Punya Rumah dan Tidak Dirumahkan

Share:
Tundra Meliala.ist



GARDA.IR | Saatnya Wartawan Punya Rumah dan Tidak Dirumahkan

Berita:
Oleh: Tundra Meliala
Ketua Bidang Kerja Sama dan Kemitraan PWI Pusat / Ketua Tim Perumahan PWI Pusat

JAKARTA – Pendapatan wartawan kini ibarat tinta yang menipis di ujung pena. Seiring ditinggalkannya media cetak oleh pembaca dan tumbangnya banyak perusahaan pers, para jurnalis—baik yang senior maupun muda—menghadapi kenyataan pahit: hidup dalam ketidakpastian ekonomi.

Transisi ke era digital yang semula diharapkan membawa angin segar, ternyata belum mampu mengangkat kesejahteraan wartawan secara signifikan. Gaji rendah, status kerja tidak pasti, serta beban kerja yang terus bertambah telah menjadi gambaran umum kehidupan jurnalis saat ini.

Salah satu persoalan paling nyata adalah sulitnya memiliki rumah. Jika dahulu wartawan bisa mencicil rumah dengan sepertiga gaji, kini bahkan lima kali gaji pun belum tentu cukup. Harga rumah terus meroket, sementara pendapatan jurnalis stagnan. Standar hidup layak bagi profesi ini semakin menjauh dari kenyataan.

Namun di tengah langit kelabu itu, cahaya harapan muncul dari langkah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Melalui pendekatan intensif ke Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (Kemen-PKP) dan lembaga terkait seperti BPS, Tapera, BTN, serta Kemen-Komdigi, PWI berhasil menggulirkan program rumah subsidi bagi wartawan.

Program ini menyasar wartawan berpenghasilan menengah ke bawah, sesuai kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Dari total 1.000 unit yang direncanakan, 100 unit di antaranya ditargetkan sudah serah terima kunci pada 6 Mei 2025. Lokasinya tersebar di Bogor, Tambun, Bekasi, Karawang, Tangerang, dan Serang.

Skema pembayarannya dirancang ringan: cicilan tetap, bunga flat 5 persen per tahun hingga lunas, uang muka mulai dari 1 persen, serta bebas PPN dan BPHTB. Dengan penghasilan maksimal Rp13–14 juta per bulan, wartawan bisa mengakses hunian layak tanpa harus kehilangan stabilitas finansial.

PWI menegaskan bahwa program ini bukan alat intervensi atau pengaruh terhadap independensi pers. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk pengakuan terhadap pentingnya profesi jurnalis dalam menjaga demokrasi. Rumah bukan kemewahan, melainkan hak dasar.

Program serupa sebenarnya pernah berjalan sejak 2015 dan telah memberikan rumah bagi lebih dari 1.100 wartawan. Namun sempat terhenti selama pandemi Covid-19 dan beberapa tahun sesudahnya. Kini, program ini dihidupkan kembali dengan sistem transparan dan akuntabel, tanpa pungutan liar. Proses pengajuan dilakukan langsung melalui BTN. PWI juga menginstruksikan seluruh pengurus daerah untuk segera mendata anggotanya yang ingin ikut program ini.

Inisiatif ini bukan hanya solusi tempat tinggal, melainkan upaya memperkuat ketahanan sosial para jurnalis. Dengan memiliki rumah sendiri, wartawan memiliki tempat pulang, tempat tumbuh, dan fondasi bagi ketenangan hidup—yang akan berdampak langsung pada kualitas dan integritas kerja jurnalistik.

Pemerintah pun memandang program ini sebagai bagian dari strategi untuk menurunkan angka backlog perumahan nasional, yang masih berada di angka 12,7 juta unit. Dengan tingkat kepemilikan rumah baru sekitar 60 persen, wartawan—yang masuk dalam kategori pekerja semi-formal—layak mendapat akses terhadap perumahan yang layak dan terjangkau.

Karena pada akhirnya, rumah bukan segalanya. Tapi tanpa rumah, banyak hal lain menjadi rapuh.

Sudah waktunya wartawan berhenti menjadi tamu di negerinya sendiri. Rumah kecil, tapi milik sendiri. Wartawan juga berhak hidup sejahtera.


Kalau ingin dibuat versi ringkas untuk publikasi media online atau siaran pers, aku bisa bantu juga. Mau?

Share:
Komentar

Berita Terkini